JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy'ari mengaku telah membantah dugaan asusila yang diadukan oleh seorang anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) di Eropa kepadanya, dalam sidang perdana Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Rabu (22/5/2024).
Sidang tersebut berlangsung kurang lebih 7-8 jam, digelar sejak Jumat pagi dan baru rampung sore hari.
"Semua hal yang menjadi pokok perkara yang diadukan oleh pengadu maupun melalui kuasa hukumnya sudah saya jawab semua dan kemudian pada intinya apa yang dituduhkan atau apa yang dijadikan dalil aduan kepada saya, saya bantah semua," kata Hasyim selepas sidang.
Ia mengeklaim, dalil-dalil pengaduan itu tidak sesuai dengan fakta yang sesungguhnya.
Baca juga: DKPP Didesak Pecat Ketua KPU dengan Tidak Hormat
"Ada sekian banyak pokok-pokok persoalan yang dituduhkan kepada saya semuanya saya bantah. Bukan karena sekadar saya mau membantah, tapi karena memang faktanya tidak demikian," kata dia.
Akan tetapi, Hasyim tidak ingin menjelaskan lebih detail dari itu karena sidang ini digelar secara tertutup.
Ia mempersoalkan pemberitaan investigatif dari beberapa media mengenai kasus ini, yang ia yakini bersumber dari pihak Pengadu.
Ia berkeberatan karena perkara ini akan disidangkan secara tertutup.
"Pokok perkara yang pernah disampaikan oleh kuasa hukumnya ke media, yang kemudian dikutip dan disiarkan secara luas oleh media, saya nyatakan pokok-pokok perkara yang pernah disampaikan melalui media itu semuanya saya bantah di dalam persidangan," ujar Hasyim.
Baca juga: Dugaan Rayu PPLN, Ketua KPU Hadiri Sidang DKPP Bareng Korban
Sementara itu, pengacara Pengadu, Aristo Pangaribuan, mengeklaim pihaknya tidak pernah membocorkan pokok-pokok aduan atau alat bukti ke pihak luar.
"Saya tidak membuka pokok-pokok yang terjadi. Yang saya buka kan argumentasi saya," ucap dia dalam kesempatan terpisah.
Dalam kasus dugaan pelanggaran etik ini, Hasyim dituduh menggunakan relasi kuasa untuk mendekati, membina hubungan romantis, dan berbuat asusila terhadap Pengadu, termasuk di dalamnya menggunakan fasilitas jabatan sebagai Ketua KPU RI.
"Cerita pertama kali ketemu itu di Agustus 2023, itu sebenarnya juga dalam konteks kunjungan dinas. Itu pertama kali bertemu, hingga terakhir kali peristiwa terjadi di bulan Maret 2024," kata kuasa hukum korban sekaligus pengadu, Maria Dianita Prosperiani, saat mengadu ke DKPP, 18 April 2024.
Keduanya disebut beberapa kali bertemu, baik saat Hasyim melakukan kunjungan dinas ke Eropa, atau sebaliknya saat korban kunjungan dinas ke Indonesia.
Baca juga: Ketua KPU Diadukan Lagi ke DKPP, Diduga Goda Anggota PPLN
Kuasa hukum lainnya, Aristo Pangaribuan, menyebut bahwa dalam keadaan keduanya terpisah jarak, terdapat upaya aktif dari Hasyim "secara terus-menerus" untuk menjangkau korban.
"Hubungan romantis, merayu, mendekati untuk nafsu pribadinya," kata Aristo.
Namun, menurut dia, tidak ada intimidasi maupun ancaman dalam dugaan pemanfaatan relasi kuasa yang disebut dilakukan oleh Hasyim.
Pengacara juga enggan menjawab secara tegas apakah "perbuatan asusila" yang dimaksud juga mencakup pelecehan seksual atau tidak.
Ini bukan kali pertama Hasyim tersandung masalah etik terkait dugaan perbuatan asusila.
Sebelumnya, ia pernah dinyatakan melanggar etik dan dijatuhi sanksi peringatan keras terakhir oleh DKPP karena melakukan komunikasi yang tidak patut terhadap Ketua Umum Partai Republik Satu alias "Wanita Emas".
Ketika itu, rangkaian persidangan yang digelar tertutup mengungkapkan bahwa Hasyim aktif berkomunikasi dengan Hasnaeni secara intensif melalui WhatsApp di luar kepentingan kepemiluan.
Baca juga: Komisi II Pertimbangkan Bentuk Panja untuk Evaluasi Gaya Hidup dan Dugaan Asusila di KPU
DKPP menilai tindakan Hasyim sebagai sebagai penyelenggara pemilu terbukti melanggar prinsip profesional dengan melakukan komunikasi yang tidak patut dengan calon peserta pemilu sehingga mencoreng kehormatan lembaga penyelenggara pemilu.
Seusai kasus Hasnaeni, Hasyim juga beberapa kali disanksi peringatan keras terakhir namun DKPP tak pernah mencopot atau memecatnya.
DKPP beralasan, mereka tidak menambah level sanksi menjadi pemberhentian sebab tipologi kasus pelanggaran etik yang membuatnya dijatuhi peringatan keras merupakan kasus yang berlainan satu sama lain, sehingga tidak berlaku sifat akumulatif.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.