JAKARTA, KOMPAS.com - Kerja sama antara Indonesia dengan Korea Selatan terkait proyek pembuatan pesawat tempur KF-21 Boramae belum mencapai titik temu.
Media Korea Selatan, Yonhap, melaporkan pada Senin (6/5/2024) bahwa Indonesia telah mengajukan pengurangan pembayaran untuk proyek pengembangan KF-21 menjadi sekitar sepertiga dari jumlah aslinya.
Sumber yang dihubungi mengatakan, Indonesia baru-baru ini mengusulkan agar bisa membayar total 600 miliar won (Rp 7,07 triliun) untuk proyek jet tempur yang bekerja sama dengan Korea Aerospace Industry (KAI).
Namun, seorang pejabat pemerintah di Seoul mengatakan, mereka masih berkonsultasi dengan Indonesia dan belum memutuskan apakah akan menerima proposal tersebut.
Baca juga: Proyek Jet Tempur Korsel-Indonesia KF-21 Mandek di Tengah Pembangunan IKN
Diketahui, Indonesia dan Korea Selatan menandatangani perjanjian kerja sama kesepakatan pembagian ongkos produksi jet tempur KF-21 Boramae pada 2014 antara Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro dan Duta Besar Korea Selatan Cho Tai-young.
Perjanjian itu meliputi kerja sama rekayasa teknik dan pengembangan. Rencananya, jet tempur KF-21 prototipe 5 tersebut yang akan digunakan TNI AU dan diserahkan kepada Indonesia pada fase terakhir 2026.
Sesuai kesepakatan awal pada 2014, Indonesia dibebankan 20 persen dari total biaya pengembangan pesawat tempur itu. Akan tetapi, dalam perkembangannya, Indonesia masih menunggak pembayaran karena keterbatasan APBN.
Kemenhan sebut bukan pengurangan pembayaran
Kementerian Pertahanan RI membantah bahwa Indonesia mengajukan pengurangan pembayaran untuk proyek KF-21, melainkan penyesuaian pembayaran.
“Istilah yang tepat atas langkah yang diambil oleh pemerintah Indonesia terkait dengan pembiayaan proyek pesawat tempur KF-21 adalah 'penyesuaian pembayaran' atau payment adjustment bukan 'pemotongan pembayaran'," ujar Kepala Biro Humas Setjen Kemenhan Brigjen TNI Edwin Adrian Sumantha saat dihubungi, Senin.
Edwin menyebutkan, penyesuaian ini sejalan dengan kemajuan kerja sama yang telah dan masih akan dilaksanakan bersama Korea Selatan.
Ia mengatakan, penyesuaian pembayaran itu merupakan sebuah langkah yang logis dan rasional karena terdapat beberapa kegiatan dalam program yang tidak dapat diikuti oleh teknisi Indonesia.
“Alhasil, pembayaran yang dilakukan pemerintah Indonesia disesuaikan dengan manfaat yang diperoleh dari kerja sama ini," kata Edwin.
"Adalah wajar dan sesuai dengan prinsip akuntabilitas bahwa untuk program atau kegiatan yang tidak diikuti oleh teknisi Indonesia, pihak Indonesia tidak perlu menanggung biaya, yang pada gilirannya mengurangi jumlah pembayaran yang telah direncanakan,” imbuh dia.
Lebih lanjut, nilai yang dibayarkan Indonesia mengalami penyesuaian karena Korea Selatan hanya menerima pembayaran biaya berbagi atau cost share hingga 2026.