PERNYATAAN Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahwa presiden hingga menteri boleh berkampanye dan memihak dalam pemilu menimbulkan tafsir ganda dalam masyarakat.
Publik terbelah. Sebagian pihak berpikir pernyataan presiden lumrah dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sementara pihak lain menilai pernyataan tersebut menimbulkan berbagai spekulasi terhadap kemungkinan ketidaknetralan pejabat publik yang akan mencederai hasil pemilu 2024 mendatang.
Secara hukum, Pasal 299 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) memberikan hak secara limitatif terhadap presiden dan wakil presiden untuk melaksanakan kampanye berdasar UU Pemilu.
Namun, berdasar Pasal 300 UU Pemilu dibatasi dengan wajib memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara dan dilarang menggunakan fasilitas negara.
Pengaturan tersebut dapat dijadikan dasar legitimasi oleh presiden untuk melakukan kampanye, bahkan memberikan dukungan kepada salah satu kandidat tertentu.
Namun tentunya terdapat problem yuridis, filosofis, bahkan etis dalam pengaturan serta pelaksanaannya.
Problem yuridis apabila dibandingkan jabatan-jabatan politik lainnya seperti menteri dan kepala daerah, yang mengharuskan cuti untuk berkampanye.
Sementara presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan tidak diatur dan tidak diwajibkan untuk mengambil cuti, hanya diwajibkan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara dan dilarang menggunakan fasilitas negara.
Secara filosofis juga terjadi problem serius. Jabatan presiden sebagai puncak dari cabang kekuasaan eksekutif diharapkan menjadi contoh dan rule model dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
Presiden diharapkan menjadi tolok ukur dalam perkembangan demokratisasi pascareformasi. Keberpihakan presiden dalam Pemilu menunjukkan adanya kepentingan individual mengesampingkan kepentingan rakyat.
Jika puncak kekuasaan presiden hanya berorientasi pada kepentingan individual pelaku politik, maka kekuasaan presiden telah kehilangan kepercayaan dan legitimasi publik.
Kemudian secara etis, tidak dibenarkan presiden menyatakan hal yang demikian. Apalagi pada waktu itu yang bersangkutan sedang bersama dengan kandidat capres dan para petinggi TNI.
Dengan demikian, ada problem etis serius yang semestinya tidak dilakukan oleh seorang presiden. Kalaulah hal tersebut harus dilakukan, maka sudah semestinya sedang tidak bersamaan dengan calon presiden dan para pejabat lainnya.
Meskipun melalui peraturan perundang-undangan yang ada presiden tidak dilarang melakukan kampanye dan memberikan dukungan, namun perlu kesadaran etis kepada presiden untuk bersikap bijak dan bajik dalam segala ucapan dan tindakannya.