Lalu berpura-pura meyakini politik harus mencapai tujuan-tujuan moralisme: keadilan sosial, kesetaraan dan kesejahteraan bersama.
Dalam sejarah perpolitikan Indonesia, tampaknya terjadi pergeseran secara konsisten dari moralisme politik yang dipraktikkan pada generasi pertama republik ini ke realisme politik era Orde Baru dan generasi Reformasi.
Proses-proses politik yang benar kini dalam realisme politik telah dipahami sebagai proses penuh drama permainan kuasa semata.
Saat ini, publik Indonesia cukup menikmati pertunjukan-pertunjukan elite dalam tukar tambah transaksi membangun koalisi politik yang rentan berubah tiap waktu.
Seperti manuver politik Nasdem dan PKB dan drama patah hatinya Partai Demokrat. Publik juga diajak menerka teka-teki sinyal politik Presiden Jokowi, akankah ia memihak Ganjar Pranowo atau Prabowo Subianto.
Lalu perbincangan publik penuh gairah mengulas langkah-langkah Jokowi mendirikan dinasti politik baru.
Terutama setelah anak bungsunya Kaesang Pangarep resmi menjabat sebagai Ketua Umum PSI dan anaknya yang lain Gibran Rakabuming digosipkan menjadi bakal calon wakil presiden untuk Prabowo Subianto.
Pula, menantunya Bobby Afif Nasution yang menjabat Wali Kota Medan saat ini akan diusung menjadi calon gubernur Sumatera Utara.
Jokowi tidak sendirian, kelakukan mendirikan dinasti politik lebih duluan dimulai oleh para penguasa partai politik lainnya.
Cerita-cerita drama pertunjukan manuver politik koalisi dan dinasti politik ini semua ciri menonjol dari mazhab realis politik Indonesia kekinian yang semakin mapan.
Cerita-cerita yang membuat “mual” tentunya bagi para pemikir politik Indonesia generasi awal sekelas Tan Malaka, Sutan Syahril, dan Mohammad Hatta.
Harusnya, publik Indonesia bersama-sama mengekspresikan dan melampiaskan rasa muak secara massal. Bagaimana tidak, realisme politik kedinastian kini telah mendorong Indonesia stagnan, berjalan di tempat dalam arus evolusi negara modern.
Merujuk Stein Rokkan (1970), negara-negara modern di dunia bergerak dalam empat tahapan. Tahap pertama, ia menyebutnya negara pajak dan militer.
Tahapan kedua, pembangunan negara bangsa. Tahap ke tiga, negara berbasis penggunaan kuasa demokratik, dan tahap ke empat, negara kesejahteraan berbasis ‘kewargaan sosial.’
Hatta dan Syahril sudah mendorong politik Indonesia berkembang ke tahapan ke tiga dan ke empat.