DEWAN Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau disingkat DKPP, mungkin tidak terlalu fenomenal seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Meski tidak sepopuler kedua Lembaga itu, peran DKPP sebagai penjaga etika penyelenggara pemilu cukup penting.
Dengan tugas dan fungsinya menjaga integritas, kehormatan, kemandirian, dan kredibilitas penyelenggara pemilu, keberadaan DKPP sangat dibutuhkan untuk memastikan terselenggaranya pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (luber dan jurdil).
DKPP adalah Lembaga yang menjalankan fungsi penyelenggara pemilu (Lihat Pasal 1 ayat (7) UU Nomor 7 tahun 2017 Tentang Pemilu) bertugas menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu (Lihat pasal 1 ayat (24) UU Pemilu).
Dalam sejarahnya, DKPP dibentuk untuk memeriksa dan memutus aduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU, anggota KPU provinsi, anggota, KPU Kabupaten/Kota, anggota Bawaslu, anggota Bawaslu Provinsi dan anggota Bawaslu Kabupaten/Kota. (Lihat Pasal 155 ayat (2)).
Selanjutnya dalam ayat 157 dan 158 DKPP sebagai penegak kode etik dapat “menyusun dan menetapkan kode etik untuk menjaga kemandirian, integritas dan kredibilitas penyelenggara pemilu; menetapkan Peraturan DKPP dan; bersidang untuk memeriksa pelanggaran etik penyelenggara pemilu.
Kemudian dalam pasal 159 menjelaskan tugas, wewenang dan kewajiban DKPP. Secara singkat dapat dijelaskan, yaitu: Pertama, tugas DKPP menerima aduan dan/atau laporan dan melakukan penyelidikan dan verifikasi, serta pemeriksaan dugaan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu.
Kedua, Wewenang DKPP (a) memanggil Penyelenggara Pemilu yang diduga melakukan pelanggaran kode etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan; (b) memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak lain yang terkait untuk dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lain; (c) memberikan sanksi kepada penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar kode etik; (d) memutuskan pelanggaran kode etik.
Ketiga, DKPP berkewajiban: (a) menerapkan prinsip menjaga keadilan, kemandirian, imparsialitas, dan transparansi; (b) menegakkan kaidah atau norrna etika yang berlaku, (c) bersikap netral, pasif, dan tidak memanfaatkan kasus yang timbul untuk popularitas pribadi; dan (d) menyampaikan putusan kepada pihak terkait untuk ditindaklanjuti.
Dari fungsi, tugas, wewenang dan kewajiban itu DKPP bisa diklasifikasikan sebagai lembaga negara yang bersifat tetap dan mandiri.
Karena itu, keberadaan DKPP sebagai Lembaga etik sangat berbeda dengan lembaga etik lainnya, seperti Dewan Kehormatan di DPR dan DPD RI, Majelis Kehormatan Hakim di Mahkamah Konstitusi, Dewan Pers, Dewan Pengawas di KPK, yang kelihatannya masih sangat bersifat proforma.
Bahkan lembaga sekelas Komisi Yudisial masih belum dapat diandalkan untuk betul-betul menegakkan kode etik dan perilaku hakim.
Persoalannya sebagian dari lembaga penegak etik itu masih belum bersifat independen sebagaimana dalam sistem kelembagaan modern, sebagian lagi karena belum menjalankan kewenangannya secara optimal. Sehingga efektivitas lembaga-lembaga tersebut jauh dari yang diharapkan untuk benar-benar menjadi penjaga etik.
DKPP dapat dilihat sebagai Lembaga yang berbeda dari sebagian lembaga penegak etik itu. Perbedaan tersebut dilihat dari sifat kelembagaannya, yang tidak berada dalam satu institusi, melainkan berdiri terpisah dari KPU dan Bawaslu, juga perbedaannya terlihat dari substansi kelembagaan.
Meskipun tidak disebutkan sebagai lembaga independen dalam UU Pemilu, tetapi dalam pengambilan keputusan DKPP memperlihatkan independensinya.
Di samping itu, kedudukan DKPP yang tidak ada dalam internal lembaga Bawaslu maupun KPU sebenarnya merupakan ciri khas lembaga independen dalam arti kelembagaan modern.
Mengapa keberadaan DKPP menjadi penting dan memiliki peran yang sangat vital dalam menjaga integritas penyelenggara pemilu?
Integritas penyelenggara pemilu identik dengan substansi demokrasi electoral. Kalau penyelenggara pemilu tidak memiliki integritas, maka pemilihan umum yang demokratis dan konstitusonal tidak akan pernah tercapai.
Tanpa penegakkan etik, demokrasi hanya sebatas aturan, bukan perangkat untuk menciptakan sistem pemilihan yang benar-benar luber dan jurdil.
Keberadaan DKPP untuk memastikan bahwa penyelenggara pemilu bersikap dan bertindak melaksanakan prinsip, yaitu: mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, terbuka, proposional, profesional, akuntabel, efektif, efisien, kepentingan umum, dan aksesibilitas. Semua itu disebut sebagai pedoman perilaku penyelenggara pemilu.
Kalau penyelenggara pemilu tidak melaksanakan salah satu prinsip itu, maka dapat dikatakan telah melanggar etika penyelenggara pemilu dan bisa disidang secara etik.
Artinya fungsi, tugas dan wewenang DKPP sebagai lembaga negara atau lembaga penegak etik penyelenggara pemilu sangat besar melampaui kewenangan lembaga etik lainnya.
Bahkan DKPP menjadi tumpuan harapan oleh penyelenggara pemilu, peserta pemilu dan masyarakat secara umum untuk menegakkan Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP). Kenyataan itu dibuktikan dengan begitu banyaknya aduan/laporan masyarakat yang masuk ke DKPP.
Selama periode 2020 – Agustus 2023, DKPP menerima 725 aduan/laporan. Meskipun tidak semuanya disidangkan, tetapi keseluruhan aduan itu membuktikan lembaga baru ini menjadi tumpuan harapan masyarakat agar penyelenggaraan pemilu benar-benar menghasilkan pemilu berkualitas.
Karena itu, penting sekali peran DKPP dalam pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi dan falsafah kepemiluan yang benar-benar luber dan jurdil.
Untuk mendukung sistem ketatanegaraan dengan sistem hukum (rule of law) dan sistem etik (rule of ethics) yang bersifat fungsional, keberadaan DKPP dalam Sistem demokrasi yang kita bangun diharapkan dapat ditopang oleh tegak dan dihormatinya hukum dan etika secara bersamaan.
Demokrasi yang sehat tidak boleh sekadar bersifat prosedural menurut hukum, tetapi harus ditopang ‘the rule of law and the rule of ethics’ secara bersamaan.
“The Rule of Law” bekerja berdasarkan “Code of Law”, sedangkan “the Rule of Ethics” bekerja berdasarkan “Code of Ethics”, yang penegakannya dilakukan melalui proses peradilan yang independen, imparsial, dan terbuka, yaitu peradilan hukum (Court of Law) untuk masalah hukum dan Peradilan Etik (Court of Ethics) untuk masalah etika.
Dengan begitu, sistem demokrasi yang dibangun lebih bersifat substansial daripada sekadar bersifat prosedural, dan berpilarkan sistem pemilu yang tidak sekadar formal sesuai dengan ketentuan hukum, tetapi juga berintegritas menurut standar etika (election with integrity).
Dalam perspektif untuk menciptakan sistem demokrasi yang substansial itulah peran DKPP menjadi penting.
Bahkan harus diakui, meskipun belum dikenal secara luas, DKPP menjadi Lembaga yang sangat diharapkan masyarakat. Terlihat dari penerimaan laporan/pengaduan masyarakat ke DKPP yang meningkat tiap tahunnya.
Karena itu pula kita mendorong DKPP mengeluarkan keputusan yang berkualitas. Melihat harapan masyarakat itu, harusnya DKPP menjadi mahkamah yang mengadili pelanggaran penyelenggara pemilu secara final dan mengikat tanpa ada upaya di luar dari hukum kepemiluan.
Dalam beberapa kasus, penyelenggara pemilu yang diadili oleh DKPP tidak menerima keputusan pemberhentian dari penyelenggara, kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai upaya untuk membatalkan keputusan DKPP.
Hal ini, bagi saya, dapat menciptakan dilema bagi kepastian hukum setelah keluar keputusan DKPP. Apabila ada upaya lain di luar daripada hukum pemilu untuk mengontrol keputusan dewan etik pemilu, maka akan ada kekosongan jabatan.
Ini membuat tidak efektif keberadaan DKPP sebagai penegak etika dan juga menjadi alibi untuk menghindari sanksi pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu.
Keputusan DKPP yang bersifat final dan mengikat itu harus selesai disidang etik tanpa harus ada upaya lain di luar itu. Ini perlu dipikirkan oleh pembuat UU untuk memperkuat DKPP sebagai “mahkamah” etik.
Kenapa keputusan DKPP itu bersifat final, mengikat dan tidak boleh ada upaya lain?
Sebelum mengambil keputusan untuk memberhentikan seorang penyelenggara pemilu, DKPP terlebih dahulu menjatuhkan vonis hukuman yang bersifat peringatan.
Jadi meskipun seseorang itu melakukan pelanggaran etik (kecuali yang sangat fatal), DKPP masih memberikan waktu yang bersangkutan untuk memperbaiki diri dengan putusan peringatan. Bahkan dalam banyak kasus, DKPP memberikan peringatan lebih dari tiga kali.
Prosedur penanganan kode etik penyelenggara pemilu yang dilaksanakan DKPP sangat mengedepankan pemaafan dan pada penghukuman.
Namun kadang penyelenggara pemilu melakukan pelanggaran berulang-ulang. Karena pelanggaran berulang-ulang itulah akhirnya DKPP menjatuhkan hukuman pemberhentian dengan tidak terhormat.
Jadi kedepannya peran DKPP dalam penegakan kode etik penyelenggara pemilu perlu diberi kepastian mengenai sifat keputusannya memberhentikan penyelenggara pemilu yang melanggar etik. Supaya asas kepastian hukum benar-benar tercapai dalam penyelenggaraan pemilu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.