JAKARTA, KOMPAS.com - Kamp khusus tahanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda di Boven Digoel, yang saat ini masuk ke dalam wilayah Provinsi Papua Selatan, tidak hanya terkenal karena pernah dihuni oleh sejumlah tokoh perintis kemerdekaan seperti Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir.
Dari tempat itu juga terbersit cerita mengenai ganasnya situasi di sekeliling kamp pengasingan yang terpencil dan sepi.
Seperti dikutip dari buku Hantu Digoel: Politik Pengamanan Politik Zaman Kolonial, pemerintah kolonial sengaja memilih Digoel sebagai kamp pengasingan tahanan politik karena lokasinya yang terisolasi.
Menurut catatan, terdapat 2 kamp pengasingan di Digoel, yakni Tanah Merah dan Tanah Tinggi.
Saat itu buat mencapai kamp hanya bisa ditempuh melalui jalur perairan. Jarak antara mulut Sungai Digoel yang menjadi jalan masuk dengan kamp Tanah Merah sebagai pusat pemerintahan dan kamp utama mencapai 455 kilometer, atau setara dengan jarak Jakarta-Semarang melalui jalur darat.
Baca juga: Mengenal Boven Digoel Papua, Tempat Bung Hatta Diasingkan di Era Kolonial Belanda
Sedangkan buat mencapai kamp Tanah Tinggi dibutuhkan jarak tempuh sejauh 55 kilometer dari Tanah Merah, atau 3,5 hari jika dimulai dari Sungai Digoel. Perjalanan pun hanya bisa dilakukan menggunakan kapal motor.
Kamp Tanah Merah terbagi menjadi 3 kawasan, yaitu zona pemerintahan, markas tentara, dan kamp penampungan tahanan politik.
Selain itu, kamp Tanah Merah diperuntukkan bagi tahanan politik yang tergolong masih mau menerima pekerjaan dan diupah pemerintah kolonial buat menopang kehidupan mereka di tempat itu.
Sedangkan kamp Tanah Tinggi yang lebih terpencil khusus bagi mereka yang dianggap sebagai aktivis "garis keras", yang menolak bekerja buat pemerintah kolonial. Alhasil mereka hanya diberi uang tunjangan in natura dan jatah ransum selama berada di kamp itu.
Yang unik dari tempat itu adalah wilayah penampungan tahanan politik Digoel justru tidak diberi pagar pembatas ataupun menara pengawas. Para tahanan dibiarkan bebas di kamp yang dikelilingi hutan lebat dan sungai penuh buaya.
Baca juga: Mengintip Sel Tikus Bung Hatta di Boven Digoel...
Para tahanan dibiarkan menjelajahi kawasan itu dengan radius 25 kilometer. Di luar itu dikenal sebagai "garis batas kematian."
Yang diberi pagar kawat berduri justru kawasan khusus tempat bermukim aparat pemerintahan dan tentara.
Menurut salah satu mantan tahanan Digoel, Chalid Salim, selama kurun waktu 1929 sampai 1943 terdapat 16 kali percobaan melarikan diri yang dilakukan 50 tahanan dari kamp itu. Sebanyak 40 orang berupaya kabur dari Tanah Merah, sedangkan 10 orang dari Tanah Tinggi.
Keputusan membangun sebuah tempat pengasingan bagi tokoh-tokoh gerakan revolusioner dan komunis mulanya sebagai reaksi pemerintah Hindia Belanda terhadap pemberontakan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) di Banten pada 6 November 1926.
Adalah Gubernur Jenderal Andries Cornelis Dirk de Graeff dan Dewan Hindia Belanda (Raad van Nederlancsh-Indie) yang sepakat membangun kamp itu pada 18 November 1926. Tiga tahun setelahnya kamp itu mulai difungsikan.
Baca juga: Boven Digoel, Pengasingan yang Sangat Ditakuti
Yang paling mematikan dari Boven Digoel justru bukan dari kekejaman aparat melainkan dari kondisi alamnya.
Selain malaria, saat itu di sekitar kamp Boven Digoel masih banyak dihuni oleh suku-suku setempat yang bisa dibilang belum terlampau ramah dengan orang asing.
Alam Digoel yang panas, lembab, dan gersang juga membuat para tahanan politik berpikir ulang buat kabur. Selain itu, sungai-sungai yang mengalir di sekitar kamp juga dipenuhi buaya.
Menurut catatan terdapat 2 orang tahanan politik yang tewas diterkam buaya. Salah satunya adalah Mangoenatmodjo yang tewas diterkam buaya saat sedang mandi di sungai.
Salah satu tahanan politik di Digoel, Thomas Najoan, yang dijuluki "Jungle Pimpernel" oleh Salim tercatat 4 kali berupaya kabur dari kamp itu.
Baca juga: Tokoh Pergerakan yang Pernah Dibuang ke Boven Digoel
Percobaan terakhir dilakukan pada 1942, kurang dari setahun sebelum kamp itu ditutup. Akan tetapi, Najoan hilang di hutan.
Sedangkan tahan politik bernama Dahlan dan Sukrawinata yang merupakan mantan pemimpin Komite Revolusioner Batavia tewas diserang oleh suku Mappi-Papua saat dalam pelarian.
Memang terdapat beberapa tahanan politik yang kabur dari kamp Digoel dan sampai di Thursday Island, Australia. Namun, mereka justru kembali ditangkap oleh aparat keamanan Negeri Kanguru dan dikembalikan kepada aparat Hindia-Belanda untuk kembali dijebloskan ke Digoel.
Pelarian yang paling lama dari Digoel dilakukan oleh Sandjojo dan teman-temannya. Mereka sempat bermukim beberapa waktu di Thursday Island, bahkan sampai membuka jasa cukur rambut.
Akan tetapi, mereka kembali tertangkap setelah polisi rahasia Hindia Belanda mengetahui keberadaannya dari salah satu surat yang dikirimkan oleh seorang buronan dalam kelompok itu kepada keluarganya di kampung.
Baca juga: Mengapa Mohammad Hatta Dibuang ke Boven Digoel?
Alhasil mereka kembali dibekuk dan "pulang" ke kamp Digoel.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.