Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nostalgia Demokrat dan PDI-P, Menang Pilpres 2004 dan 2014 dengan Koalisi Ramping

Kompas.com - 14/08/2023, 18:14 WIB
Fitria Chusna Farisa

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Koalisi pendukung Prabowo Subianto untuk Pemilu 2024 kian gemuk. Menteri Pertahanan itu kini mengantongi dukungan dari empat partai politik Parlemen.

Mulanya, Prabowo menyatakan kesiapan maju sebagai bakal calon presiden (capres) Partai Gerindra pada Agustus 2022 lalu. Rencana tersebut didukung oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Tepat 12 Agustus 2023, Gerindra dan PKB menyepakati kerja sama pembentukan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya.

Setahun berselang, gerbong koalisi pendukung Prabowo mendapat tambahan amunisi. Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) turut menyatakan dukungan buat Ketua Umum Partai Gerindra itu.

"Pada tanggal yang baik ini, 13 Agustus 2023, persis satu tahun tanda tangan kerja sama politik Gerindra dan PKB. Dan satu tahun kemudian kerja sama politik ini diperkuat dua partai bersejarah, partai yang besar," kata Prabowo di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jakarta, Minggu (13/8/2023).

Baca juga: Koalisi Prabowo Makin Gemuk, Kalla: Tak Jamin Menang...

Di luar itu, Prabowo juga mendapat dukungan dari partai politik non Parlemen yakni Partai Bulan Bintang (PBB) pimpinan Yusril Ihza Mahendra.

Dengan resminya kerja sama keempat partai, maka, kubu Prabowo menjadi koalisi partai politik paling gemuk di antara dua poros politik lainnya.

Pasalnya, Koalisi Perubahan untuk Persatuan yang mendukung pencapresan Anies Baswedan hanya diisi oleh tiga partai politik yakni Partai Nasdem, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Koalisi ini juga didukung oleh Partai Ummat, partai politik non Parlemen besutan Amien Rais.

Sementara, Ganjar Pranowo hanya didukung oleh dua partai politik Parlemen yaitu PDI Perjuangan dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), serta dua parpol non Parlemen meliputi Partai Hanura dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo).

Namun demikian, baik kubu Ganjar maupun kubu Anies tak ambil pusing dengan ini. Kedua pihak optimistis memenangkan kontestasi meski bertarung dengan koalisi ramping.

Baca juga: Prabowo Disokong 4 Parpol Parlemen, Sandiaga: Yang Penting Dekat dengan Rakyat

Koalisi ramping

Ketua DPP PDI-P Ahmad Basarah, misalnya, menyebut bahwa pada Pilpres 2014, PDI-P mengusung Joko Widodo dan Jusuf Kalla bersama koalisi yang ramping. Namun, koalisi ini mampu mengalahkan Prabowo yang kala itu berpasangan dengan Hatta Rajasa.

Padahal, Prabowo-Hatta didukung oleh sejumlah partai besar, tak terkecuali Demokrat yang saat itu menjadi partai penguasa.

"2014 juga kami ramping, kami menghadapi capres-cawapres yang didukung oleh presiden yang sedang berkuasa waktu itu," kata Basarah di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (14/8/2023).

"Pak Hatta Rajasa kan besannya Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) pada waktu itu. Kami partai-partai yang dihitung oleh para pengamat politik bukan partai besar pada waktu itu, hanya dengan Nasdem, PKB, dan Hanura," ujar dia.

Berkaca dari hal ini, Basarah tak menganggap serius persoalan besar kecilnya dukungan dari partai politik.

"Jadi bagi PDI-P hal-hal yang biasa yang kita hadapi. Kita biasa bekerja bersama-sama, tapi kita juga biasa bekerja dengan teman yang tidak begitu banyak. Toh, akhirnya ketika kita menang pada waktu itu akhirnya teman-teman itu juga datang kepada kami untuk bekerja sama di pemerintahan," kata Wakil Ketua MPR ini.

Bakal Calon Presiden (Bacapres) Partai Demokrasi Indonesia (PDI-P) Ganjar Pranowo.KOMPAS.COM/Fristin Intan Sulistyowati Bakal Calon Presiden (Bacapres) Partai Demokrasi Indonesia (PDI-P) Ganjar Pranowo.
Sejalan dengan itu, Kepala Badan Komunikasi Strategis (Bakomstra) Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra menilai, Koalisi Perubahan untuk Persatuan sudah cukup diisi oleh 3 partai politik, yakni Demokrat, Nasdem, dan PKS.

Menurut Herzaky, pada Pilpres 2004, SBY dan Jusuf Kalla (JK) juga didukung oleh sedikit partai. Namun, pasangan tersebut berhasil memenangkan pertarungan.

"Demokrat sendiri merasa tiga parpol sebagai pondasi dasar Koalisi Perubahan sudah sangat cukup. Pengalaman Pilpres 2004 ketika Pak SBY dan Pak JK juga hanya didukung sedikit partai," ujar Herzaky saat dimintai konfirmasi, Minggu (13/8/2023).

Menurut Herzaky, ketimbang dukungan partai politik, yang lebih penting adalah dukungan dari rakyat. Dia mengeklaim, rakyat saat ini mengiginkan perubahan sehingga Demokrat akan memperjuangkan perbaikan.

"Kita perjuangkan perubahan dan perbaikan untuk Indonesia lebih baik, rakyat banyak akan mendukung kita," tuturnya.

Bakal capres dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) Anies Baswedan usai bertemu dengan relawan pendukungnya di Rumah Temu Relawan Duren Tiga, Jakarta Selatan, Jumat (4/8/2023).KOMPAS.com/Dian Erika Bakal capres dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) Anies Baswedan usai bertemu dengan relawan pendukungnya di Rumah Temu Relawan Duren Tiga, Jakarta Selatan, Jumat (4/8/2023).

Pilpres 2004 dan 2014

Sejarah mencatat, Pilpres 2004 diikuti oleh lima pasangan capres-cawapres. Saat itu, peta dukungan partai politik tersebar ke lima pasangan calon (paslon). Perinciannya yakni:

  • Wiranto-Salahduddin Wahid: didukung oleh Partai Golkar, Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK), Partai Patriot, dan Partai Persatuan Nahdlatul Ulama (PPNU);
  • Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi: didukung oleh PDI-P dan Partai Damai Sejahtera (PDS);
  • Amien Rais-Siswono Yudo Husodo: didukung oleh PAN, PKS, Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Nasional Benteng Kerakyatan (PNBK), Partai Nasional Indonesia Marhaenisme (PNIM), Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI), Partai Sarikat, dan Partai Buruh;
  • Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla: didukung oleh Demokrat, PBB, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI);
  • Hamzah Haz-Agum Gumelar: didukung oleh PPP

Pada Pilpres 2004 putaran pertama, Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi dan SBY-Jusuf Kalla mengantongi suara tertinggi. Sehingga, hanya keduanya yang melenggang ke pemilihan putaran kedua.

Baca juga: Prabowo Didukung 4 Partai, Peluang Cak Imin Jadi Cawapres Dinilai Kian Tipis

Pada pilpres putaran kedua, Megawati-Hasyim Muzadi mendapat dukungan partai politik lebih banyak. Pencalonan keduanya didukung oleh PDI-P, Golkar, PPP, PBR, PDS, PKPB, dan PNIM.

Sementara, pasangan SBY-Jusuf Kalla didukung oleh Demokrat, PKB, PKS, PAN, PBB, dan PKPI. Meski lebih ramping, koalisi ini berhasil memenangkan pertarungan.

SBY-Jusuf Kalla keluar sebagai pemenang Pilpres 2004 dengan perolehan suara 69.266.350 atau 60,62 persen, mengungguli Megawati-Hasyim Muzadi yang mendapat 44.990.704 suara atau 39,38 persen.

Sementara, Pilpres 2014 hanya diikuti oleh dua pasangan calon, Prabowo Subianto-Hatta Rajasan dan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Dukungan partai politik pun terbelah ke keduanya, yakni

  • Prabowo Subianto-Hatta Rajasa: didukung oleh Gerindra, Golkar, PAN, PKS, PPP, PBB, dan Demokrat;
  • Joko Widodo-Jusuf Kalla: didukung oleh PDI-P, PKB, Nasdem, Hanura, dan PKPI.

Meski koalisi Prabowo-Hatta lebih gemuk, keduanya kalah dari Jokowi-Jusuf Kalla yang mengantongi 70.997.833 atau 53,15 persen suara. Sedangkan Prabowo-Hatta mendulang 62.576.444 atau 46,85 persen suara.

Baca juga: Golkar-PAN Gabung Koalisi Gerindra-PKB, Muhaimin Iskandar Deg-degan

Bukan jaminan

Melihat ini, Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Adi Prayitno menilai, banyaknya dukungan partai politik ke figur capres-cawapres bukan jaminan kemenangan.

Dia mengatakan, kemenangan pasangan calon presiden dan wakil presiden ditentukan oleh suara rakyat, bukan banyaknya dukungan partai politik.

“Tidak ada korelasi banyaknya dukungan partai ke capres akan memenangkan pertarungan politik karena yang memilih presiden itu bukan anggota dewan atau anggota partai yang jumlahnya sangat terbatas,” kata Adi kepada Kompas.com, Senin (14/8/2023).

Memang, kata Adi, semakin banyak dukungan partai, mental juang sebuah koalisi akan berlipat ganda. Namun, bukan berarti hal itu bisa dikapitalisasi menjadi dukungan suara.

Adi mengatakan, ketika pemilu presiden digelar bersamaan dengan pemilu legislatif (pileg), partai akan fokus pada pileg, bukan pilpres. Partai yang menaruh fokus besar pada pilpres kemungkinan hanya yang kadernya maju sebagai capres atau cawapres.

Sekalipun partai politik telah menyatakan dukungan ke capres tertentu, partai tersebut tak akan banyak berupaya memenangkan pilpres jika bukan kadernya sendiri yang jadi calon RI-1 atau calon RI-2.

“Biasanya fokus pada pilpres itu kalau kadernya atau punya jagoan internal maju. Sementara kalau tidak punya jagoan baik capres ataupun cawapres rata-rata kecenderungannya berkampanye untuk partai dan berkampanye untuk kepentingan caleg saja,” ujar Adi.

Adi menambahkan, kunci kemenangan pilpres ditentukan oleh seberapa mampu figur capres-cawapres meyakinkan pemilih, bukan seberapa banyak partai politik koalisi.

“Bagaimana sang capres mampu meyakinkan pemilih untuk datang ke TPS untuk memilih, itu adalah kuncinya. Visi-misi, model kampanye, strategi politik, dan sebagainya akan turut menentukan seorang capres itu bisa terpilih atau tidak dalam pilpres. Itu kuncinya, bukan partai,” tutur dia.

Baca juga: PAN Bantah Dukung Prabowo karena Erick Thohir Ditolak Jadi Bakal Cawapres Ganjar

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Menteri LHK: RI Masih Terima Ruang Dukungan Pihak Lain untuk Turunkan Emisi Karbon

Menteri LHK: RI Masih Terima Ruang Dukungan Pihak Lain untuk Turunkan Emisi Karbon

Nasional
Minta Jokowi Tunda RUU Polri, Koalisi Masyarakat: Isi Kontennya Berbahaya

Minta Jokowi Tunda RUU Polri, Koalisi Masyarakat: Isi Kontennya Berbahaya

Nasional
RUU Polri Beri Polisi Wewenang Penyadapan, ELSAM: Ini Bisa Sangat Liar...

RUU Polri Beri Polisi Wewenang Penyadapan, ELSAM: Ini Bisa Sangat Liar...

Nasional
Tren Ubah Aturan Hukum demi Menjaga Kekuasaan Diprediksi Bakal Terulang

Tren Ubah Aturan Hukum demi Menjaga Kekuasaan Diprediksi Bakal Terulang

Nasional
Putusan MA Dianggap 'Deal' Agenda Politik Jokowi Jelang Akhir Jabatan

Putusan MA Dianggap "Deal" Agenda Politik Jokowi Jelang Akhir Jabatan

Nasional
Aturan Pengawasan PPNS di RUU Polri Dianggap Hambat Kerja Penyidik KPK hingga Kejagung

Aturan Pengawasan PPNS di RUU Polri Dianggap Hambat Kerja Penyidik KPK hingga Kejagung

Nasional
Tangkap Buron Paling Dicari Thailand, Polri Minta Timbal Balik Dibantu Ringkus Fredy Pratama

Tangkap Buron Paling Dicari Thailand, Polri Minta Timbal Balik Dibantu Ringkus Fredy Pratama

Nasional
Buron Paling Dicari, Chaowalit Thongduang, Bikin Rakyat Thailand Tak Percaya Polisi

Buron Paling Dicari, Chaowalit Thongduang, Bikin Rakyat Thailand Tak Percaya Polisi

Nasional
Pilih Kabur ke Aceh, Chaowalit Buron Nomor 1 Thailand Merasa Mirip Orang Indonesia

Pilih Kabur ke Aceh, Chaowalit Buron Nomor 1 Thailand Merasa Mirip Orang Indonesia

Nasional
37 Warga Makassar yang Ditangkap karena Visa Haji Palsu Ditahan, 3 Diperiksa Kejaksaan

37 Warga Makassar yang Ditangkap karena Visa Haji Palsu Ditahan, 3 Diperiksa Kejaksaan

Nasional
Polisi Periksa 8 WNI Usai Tangkap Chaowalit Si Buron Nomor 1 Thailand, dari Ojol hingga Agen Sewa Kapal

Polisi Periksa 8 WNI Usai Tangkap Chaowalit Si Buron Nomor 1 Thailand, dari Ojol hingga Agen Sewa Kapal

Nasional
7 Bulan Kabur ke Indonesia, Buronan Thailand Nyamar jadi Warga Aceh dan Bikin KTP Palsu

7 Bulan Kabur ke Indonesia, Buronan Thailand Nyamar jadi Warga Aceh dan Bikin KTP Palsu

Nasional
Tak Setuju Perpanjangan Bansos Disebut Cawe-cawe, Dasco: Kecurigaan Tak Beralasan

Tak Setuju Perpanjangan Bansos Disebut Cawe-cawe, Dasco: Kecurigaan Tak Beralasan

Nasional
Tapera Dikhawatirkan Jadi Ladang Korupsi seperti Jiwasraya dan Asabri

Tapera Dikhawatirkan Jadi Ladang Korupsi seperti Jiwasraya dan Asabri

Nasional
Permintaan Otoritas Thailand, Chaowalit Si Buron Nomor 1 Tak Ditampilkan Saat Jumpa Pers

Permintaan Otoritas Thailand, Chaowalit Si Buron Nomor 1 Tak Ditampilkan Saat Jumpa Pers

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com