JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, menganggap Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer perlu segera direvisi.
Beleid ini selalu menjadi pembenaran agar prajurit aktif yang melakukan tindak pidana, walaupun dalam kapasitasnya sebagai jabatan sipil, hanya dapat dibawa ke peradilan militer dan kebal peradilan umum.
UU Peradilan Militer mengatur bahwa pihak yang berwenang mengusut kasus hukum prajurit aktif hanyalah oditur militer.
"UU Peradilan Militer harus direvisi. Ikut UU TNI saja. Kalau tindak pidananya umum, ya jangan ke peradilan militer," kata Bivitri ditemui Kompas.com di bilangan Jakarta Pusat, Senin (31/7/2023).
Baca juga: KPK Sebut Kepala Basarnas Bisa Disidang di Pengadilan Umum meski Punya Latar Belakang Militer
Bivitri menyampaikan, keberadaan peradilan militer yang bisa menjatuhkan sanksi atas prajurit yang melakukan tindak pidana umum sebetulnya merupakan anomali dan tak dikenal di dunia.
"Itu diterbitkan 1997. Dari tahunnya kita bisa membaca, tahun segitu undang-undang Itu dilahirkan untuk melindungi jenderal-jenderal (yang diduga terlibat tindak pidana)," kata dia.
"Di luar negeri enggak ada (peradilan militer) sebagai peradilan. Ada military tribunal, tapi itu hanya untuk pelanggaran disiplin militer. Kalau yang dilanggar pidana sipil, ya semua orang kan sama di hadapan hukum, harusnya tidak boleh ada pembedaan," jelas pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK).
Masalahnya, karena UU Peradilan Militer ini, beberapa pelaku korupsi dari unsur TNI yang kasusnya diusut KPK terpaksa diproses hukum oleh Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI.
Baca juga: Ditetapkan sebagai Tersangka, Kepala Basarnas Diduga Terima “Dana Komando” dari Koorsmin-nya
Kasus ini beberapa kali terjadi dalam perkara korupsi yang ditangani KPK, seperti kasus pengadaan helikopter AW-101 dan kasus suap Badan Keamanan Laut (Bakamla).
Akuntabilitas dan transparansinya dipertanyakan. Pada kasus Bakamla, Laksma Bambang Udoyo selaku prajurit yang terlibat korupsi hanya divonis 4,5 tahun penjara.
Pada kasus pengadaan helikopter, pengusutan atas keterlibatan para prajurit aktif malah dihentikan Puspom TNI karena diklaim tak cukup alat bukti.
Terkini, KPK sempat mengumumkan Kepala Badan SAR Nasional (Basarnas) Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto sebagai tersangka suap pengadaan alat deteksi korban reruntuhan hingga Rp 88,3 miliar yang diduga dilakukan pada 2021-2023.
Puspom TNI akhirnya menetapkan keduanya menjadi tersangka, meski sempat mempertanyakan penetapan tersangka ini. Kedua tersangka ini pun ditahan di instalasi tahanan militer milik Pusat Polisi Militer Angkatan Udara di Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.
Bivitri menjelaskan, kerangka hukum yang ada sudah jelas mengatur bahwa prajurit yang melakukan tindak pidana nonmiliter tidak seharusnya dibawa ke peradilan militer. Artinya, yang menjadi fokus adalah tindak pidananya, bukan subjeknya.
Baca juga: Komisi III Akan Panggil KPK Bahas Kasus Dugaan Korupsi di Basarnas
Pasal 47 ayat (3) Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI mengatur, prajurit aktif yang duduk di beberapa lembaga sipil yang diperbolehkan, termasuk Basarnas, harus tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan itu.