JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, menilai bahwa penanganan kasus suap yang menjerat Kepala Badan SAR Nasional (Basarnas) Marsekal Madya Henri Alfiandi lebih baik ditangani oleh tim koneksitas.
Bivitri tak setuju langkah KPK yang meminta maaf atas penetapan Henri sebagai tersangka dan menyerahkan sepenuhnya proses hukum ke Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI.
"Jangan dilepas ke TNI," sebut Bivitri ditemui Kompas.com di daerah Jakarta Pusat, Senin (31/7/2023).
Baca juga: Tersangka Penyuap Kepala Basarnas Datangi KPK Didampingi Pengacara
Ia memahami bahwa ada unsur politik dalam kisruh penanganan kasus ini, termasuk di dalamnya aroma rivalitas antara Polri dan TNI karena sebagian penyidik KPK berlatar belakang polisi.
Namun demikian, Bivitri menyinggung bahwa akuntabilitas dan transparansi peradilan militer belum sepenuhnya bisa diandalkan.
Ia menyinggung beberapa kasus sebelumnya, seperti kasus korupsi pengadaan helikopter AW-101 dan Badan Keamanan Laut (Bakamla), ketika KPK juga menyerahkan proses hukum koruptor militer ke Puspom TNI.
Pada kasus Bakamla, Laksma Bambang Udoyo selaku prajurit yang terlibat korupsi hanya divonis 4,5 tahun penjara.
Sedangkan, pada kasus pengadaan helikopter, pengusutan atas keterlibatan para prajurit aktif malah dihentikan Puspom TNI karena diklaim tak cukup alat bukti.
"Karena ini politik, kalau sekarang KPK juga masih belum terlalu berani untuk mengambil alih total, silakan bikin peradilan koneksitas," ungkap Bivitri.
Baca juga: Soal Polemik Kasus Dugaan Suap di Basarnas, Jokowi: Masalah Koordinasi
Pasal 89-92 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam sistem koneksitas, pemeriksaan perkara harus dibawa ke peradilan umum.
Kecuali, ada keputusan menteri pertahanan dan atas persetujuan menteri kehakiman bahwa perkara itu diperiksa di peradilan militer.
Peradilan militer juga baru bisa ditempuh jika titik berat kerugian condong pada kerugian militer alih-alih sipil.
Seandainya terdapat perbedaan pendapat antara penuntut umum dan oditur militer, maka yang berhak menentukan peradilan mana yang bakal ditempuh adalah jaksa agung.
Sebelumnya, Henri sudah ditetapkan KPK sebagai tersangka suap pengadaan alat deteksi korban reruntuhan hingga Rp 88,3 yang diduga dilakukan pada 2021-2023.
Namun, polemik muncul setelahnya. Puspom TNI merasa, Henri yang berstatus prajurit TNI aktif mestinya diproses hukum oleh mereka, bukan oleh KPK, kendati kepala Basarnas adalah jabatan sipil.
KPK minta maaf dan akhirnya malah menyerahkan kasus ini ke Puspom TNI.
Baca juga: Kasus Dugaan Suap di Basarnas Dinilai Bisa Coreng Kepercayaan Publik pada TNI
Padahal, Pasal 47 ayat (3) Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI mengatur, prajurit aktif yang duduk di beberapa lembaga sipil yang diperbolehkan, termasuk Basarnas, harus tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan itu.
Pasal 65 ayat (2) UU TNI juga menegaskan bahwa prajurit hanya tunduk kepada kekuasaan peradilan militer "dalam hal pelanggaran hukum pidana militer" dan harus dibawa ke peradilan umum jika melakukan tindak pidana umum.
Apalagi, Pasal 42 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menegaskan bahwa lembaga antirasuah itu adalah pihak yang "berwenang mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum".
Namun demikian, Puspom TNI bersikeras bahwa berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, proses hukum atas prajurit aktif merupakan ranah mereka, terlepas dari tindak pidananya.
Baca juga: Kasus Dugaan Korupsi Kepala Basarnas, Perlukah Peradilan Koneksitas?
Bivitri mengatakan, dalam hukum, terdapat adagium bahwa peraturan yang baru harus lebih diutamakan ketimbang yang lama.
Dalam hal ini, maka atas pengusutan kasus korupsi unsur militer, UU Peradilan Militer dapat dikesampingkan dibandingkan UU TNI dan UU KPK yang terbit lebih anyar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.