Pertama, negara perlu menegaskan komitmennya untuk menjamin kemerdekaan berserikat dan menyatakan pendapat. Meski hak ini sudah dijamin oleh UUD 1945, tetapi praktiknya banyak pembungkaman.
Kedua, mendorong eksperimen-eksperimen politik yang memberi tempat bagi partisipasi politik rakyat dalam memengaruhi dan menentukan kebijakan politik.
Penganggaran Partisipatoris (Participatory Budgeting), yang pernah sukses besar di Porto Alegre Brasil dan dicontoh oleh banyak kota lain di dunia, bisa menjadi model alternatif untuk mendorong partisipasi publik dalam menyusun dan memutuskan anggaran kota/kabupaten (APBD).
Ketiga, memberi tempat kepada masukan dan pendapat rakyat dalam proses pembuatan kebijakan politik lewat mekanisme referendum kebijakan atau UU yang sifatnya strategis, seperti masa jabatan presiden/wakil presiden, perlu dan tidaknya ibu kota baru, UU Cipta Kerja, dan lain-lain.
Selain itu, segala hal yang merintangi partisipasi dan hak politik rakyat, seperti persyaratan parpol peserta pemilu yang sangat berat, parliamentary threshold, dan presidential threshold, perlu dihapuskan.
Para Bapak-Ibu bangsa memilih jalan demokrasi karena sebuah keyakinan: masyarakat adil dan makmur hanya bisa terwujud jika kekuasaan dan penyelenggaraan Negara dilakukan sesuai dengan kehendak rakyat.
Janganlah marah pada tikus, rengkiang dibakar. Alangkah baiknya kekecewaan terhadap demokrasi diubah menjadi perjuangan untuk meradikalisasi demokrasi agar lebih terbuka pada partisipasi dan responsif terhadap kehendak publik.
Sebab, bagaimanapun, demokrasi masih lebih baik dari model kekuasaan absolut yang diwariskan turun-temurun dan kekuasaan yang mengatasnamakan kehendak ilahi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.