Lewat dua revolusi sosial berskala besar pada abad ke-18, yakni revolusi Amerika 1776 dan revolusi Perancis 1789, umat manusia dijanjikan sedang meniti jalan menuju kesetaraan hak dan kemakmuran bersama.
Dua ratus tahun kemudian, kira-kira sejak pertengahan 1990-an, bersamaan dengan meningkatnya ketimpangan ekonomi secara global, dukungan terhadap demokrasi pelan-pelan merosot.
Sejumlah pakar mulai bicara soal kemunduran demokrasi (democratic backsliding) dan demokrasi iliberal (Illiberal democracy).
Memasuki abad ke-21, tingkat kepuasan terhadap demokrasi justru semakin terjun bebas. Kecuali di negara-negara yang relatif makmur dan tingkat korupsinya rendah, seperti Swedia, Jerman, Belanda, dan Singapura, tingkat kepuasan terhadap demokrasi di banyak negara berada di bawah 50 persen.
Survei Pew Research Centre pada 2022 menemukan, tingkat kepuasan terhadap demokrasi di kalangan masyarakat Amerika Serikat, negeri yang kerap menjadi simbol dari kampiun demokrasi, hanya 38 persen.
Di Perancis, tempat revolusi demokratik pertama meletus, tingkat kepuasan terhadap demokrasi hanya 44 persen.
Di Indonesia, tingkat kepuasan terhadap demokrasi juga menunjukkan tren menurun. Survei Indikator Politik Indonesia pascapandemi menunjukkan, tingkat kepuasan terhadap demokrasi hanya 47,6 persen dan tidak puas sebanyak 44,1 persen.
Tren penurunan itu berkelindan dengan peningkatan ketidakpuasan terhadap dua lembaga penting demokrasi, yaitu partai politik dan parlemen. Dua lembaga itu selalu menempati papah bawah sebagai lembaga paling tidak dipercaya oleh publik.
Beberapa penyebab
Sekarang ini demokrasi sedang tersudut oleh beragam gugatan. Dari beragam gugatan itu, ada beberapa isu yang nyaring dilantangkan.
Pertama, memburuknya kualitas representasi politik. Hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada awal Oktober 2022 merekam, mayoritas responden (78,7 persen) menilai DPR belum memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat.
Dalam hal ini, representasi politik berarti aktivitas yang membuat perspektif, opini, dan suara warga negara ’hadir’ dalam proses pembuatan kebijakan publik.
Representasi politik bisa terjadi apabila aktor-aktor politik bicara, mengadvokasi, menandakan, dan bertindak sesuai kehendak publik (Pitkin, 1967).
Jamak terjadi, keputusan politik wakil rakyat bertentangan dengan kehendak dan kepentingan warga.
Di Indonesia, protes terhadap produk legislasi DPR, terutama revisi UU KPK dan RKUHP, telah memicu aksi protes bertajuk #ReformasiDikorupsi dan merupakan aksi protes terbesar pascareformasi 1998.
Kedua, menyempitnya ruang partisipasi publik dalam memengaruhi kebijakan. Ada banyak proses legislasi di DPR dibuat seperti paket kilat, benar-benar tertutup, dan tanpa partisipasi publik.
Kita bisa menyebut beberapa contoh: UU Cipta Kerja, revisi UU KPK, RKUHP, UU tentang Ibu Kota Negara Nusantara (IKN), dan revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).
Ketiga, menyempitnya ruang partisipasi politik elektoral karena banyaknya tembok penghalang bagi warga negara untuk mendirikan parpol maupun mencalonkan diri sebagai pejabat publik (legislatif dan eksekutif).
Ada semacam multiple barriers to entry bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam politik, mulai dari persyaratan parpol peserta pemilu yang super berat, penerapan parliamentary threshold untuk parpol yang mendudukkan wakil di parlemen, dan presidential threshold untuk pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.
Keempat, ketimpangan ekonomi yang menggerus nilai-nilai demokrasi. Tak bisa dimungkiri, demokrasi lahir dari janji akan kesetaraan umat manusia. Demokrasi tidak akan sehat jika warga negaranya tak setara.
Faktanya, ketidaksetaraan ekonomi berkontribusi pada ketimpangan penguasaan sumber daya. Konsentrasi kekayaan yang ekstrem di tangan segelintir orang akan menciptakan penumpukan kekuasaan yang ekstrem di tangan segelintir orang (Saez dan Guzman, 2020).
Ketimpangan kekayaan berarti juga ketimpangan sumber daya kekuasaan (Winters, 2014).
Ketimpangan ekonomi membuat prinsip “one man, one vote” tidak terjadi. Sebab, si kaya bisa menggunakan kekayaannya untuk membeli suara si miskin, membeli jam tayang media massa, membeli wewenang aparatus negara, bahkan bisa membeli penyelenggara pemilu.
Kelima, menguatnya kecenderungan oligarki dalam panggung politik mutakhir. Penumpukan kekayaan di tangan segelintir orang telah menciptakan kekuasaan istimewa dan dapat dipergunakan sebagai sumber daya politik.
Dengan kekayaannya, segelintir kaum kaya kini menjadi penguasa parpol, menduduki jabatan-jabatan strategis di eksekutif, bahkan mendominasi kursi parlemen.
Mereka bisa memengaruhi proses pembuatan kebijakan politik agar sejalan dengan kepentingan mereka (state capture).
Riset Marepus Corner tentang 'Peta Pebisnis di Parlemen' menunjukkan, sebanyak 55 persen atau sebanyak 318 anggota DPR periode 2019-2024 merupakan pengusaha.
Jalan keluar
Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuki kegelapan. Meski ada bertumpuk-tumpuk kekecewaan terhadap demokrasi, tetapi juga masih ada harapan.
Survei Indikator Politik Indonesia pada Februari 2022, menunjukkan secercah harapan itu: sebanyak 77,2 persen responden masih menganggap demokrasi sebagai sistem pemerintahan terbaik untuk Indonesia.
Karena itu, harapan terhadap demokrasi perlu diberi jalan terobosan. Demokrasi yang ada sekarang ini perlu diradikalisasi dan dimajukan, agar bisa melampaui batas-batas “demokrasi prosedural”.
Pertama, negara perlu menegaskan komitmennya untuk menjamin kemerdekaan berserikat dan menyatakan pendapat. Meski hak ini sudah dijamin oleh UUD 1945, tetapi praktiknya banyak pembungkaman.
Kedua, mendorong eksperimen-eksperimen politik yang memberi tempat bagi partisipasi politik rakyat dalam memengaruhi dan menentukan kebijakan politik.
Penganggaran Partisipatoris (Participatory Budgeting), yang pernah sukses besar di Porto Alegre Brasil dan dicontoh oleh banyak kota lain di dunia, bisa menjadi model alternatif untuk mendorong partisipasi publik dalam menyusun dan memutuskan anggaran kota/kabupaten (APBD).
Ketiga, memberi tempat kepada masukan dan pendapat rakyat dalam proses pembuatan kebijakan politik lewat mekanisme referendum kebijakan atau UU yang sifatnya strategis, seperti masa jabatan presiden/wakil presiden, perlu dan tidaknya ibu kota baru, UU Cipta Kerja, dan lain-lain.
Selain itu, segala hal yang merintangi partisipasi dan hak politik rakyat, seperti persyaratan parpol peserta pemilu yang sangat berat, parliamentary threshold, dan presidential threshold, perlu dihapuskan.
Para Bapak-Ibu bangsa memilih jalan demokrasi karena sebuah keyakinan: masyarakat adil dan makmur hanya bisa terwujud jika kekuasaan dan penyelenggaraan Negara dilakukan sesuai dengan kehendak rakyat.
Janganlah marah pada tikus, rengkiang dibakar. Alangkah baiknya kekecewaan terhadap demokrasi diubah menjadi perjuangan untuk meradikalisasi demokrasi agar lebih terbuka pada partisipasi dan responsif terhadap kehendak publik.
Sebab, bagaimanapun, demokrasi masih lebih baik dari model kekuasaan absolut yang diwariskan turun-temurun dan kekuasaan yang mengatasnamakan kehendak ilahi.
https://nasional.kompas.com/read/2023/06/27/06000051/demokrasi-dan-kekecewaan