PANCASILA yang merupakan lambang nilai-nilai luhur dan doktrin dasar negara Indonesia, sering kali menghadapi tantangan dalam implementasinya.
Pancasila terkadang menjadi serangkaian kata-kata yang hanya dihafal, bukan diterapkan, dan malah kerap kali terpinggirkan. Kasus ini terutama terlihat pada sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Dalam catatan sejarah, Indonesia sering terperangkap dalam siklus ketidakadilan dalam berbagai aspek, baik ekonomi, sosial, dan politik.
Rezim Orde Baru telah mempersempit interpretasi Pancasila dengan doktrin tafsir tunggal. Pancasila yang seharusnya mencerminkan nilai-nilai pluralitas, tiba-tiba terkekang dalam satu sudut pandang. Sehingga, pandangan lain dianggap tabu atau haram.
Di era modern ini, Pancasila kerap kali dijadikan sebagai alat polarisasi: "Kami adalah pengikut Pancasila, mereka bukan". Paradigma ini merupakan ancaman bagi kestabilan sosial.
Pancasila harus menjadi sarana untuk merangkul semua pihak, bukan untuk memecah belah. Adalah penting untuk menanyakan, apakah ada perbedaan signifikan dengan tafsir tunggal yang diajukan oleh Orde Baru?
Dampak dari cara Orde Baru menafsirkan Pancasila masih terasa hingga kini. Pola pikir yang singular dan eksklusif masih merasuki masyarakat, dan memengaruhi cara kita memandang tokoh-tokoh penting dalam sejarah bangsa, termasuk Bung Karno.
Bukan hanya Pancasila yang berpotensi disalahgunakan sebagai alat politik, melainkan juga figur-figur historis seperti Bung Karno.
Hal ini menghasilkan pandangan yang memandang Bung Karno hanya sebagai simbol, bukan sebagai tokoh yang memiliki gagasan-gagasannya yang berharga untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai contoh, kita bisa melihat bagaimana sosok dan pidato Bung Karno seringkali digunakan dalam kampanye politik, tetapi nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dia ajarkan seringkali diabaikan.
Bulan Juni biasanya menjadi momen untuk memperingati Bung Karno, Proklamator Kemerdekaan Indonesia. Namun, pertanyaannya adalah, apakah kita benar-benar menerapkan nilai-nilai yang diajarkan oleh Bung Karno dalam kehidupan sehari-hari?
Keabadian Bung Karno dalam hati kita tidak hanya karena karisma pribadinya, tetapi karena gagasan-gagasannya yang relevan dengan kehidupan kita saat ini.
Ironisnya, dalam konteks politik saat ini, Bung Karno sering kali hanya digunakan sebagai alat untuk meraih simpati masyarakat, dengan meniru aspek-aspek permukaan seperti gaya berbusana dan gaya pidato, bukan esensinya yang lebih dalam dan substansial.
Selama beberapa tahun terakhir, sekelompok masyarakat —terutama mereka yang tidak setuju dengan pemerintah— merasa bahwa pemerintah telah berlebihan dalam mengagungkan Bung Karno.
Meskipun ini bisa dipahami, mengingat selama masa Orde Baru, Bung Karno seolah dihapus dari sejarah bangsa, glorifikasi yang berlebihan juga bisa berbahaya.
Jika pada 2024, pemenang pemilu dan presiden bukan dari partai yang identik dengan Bung Karno, maka ada potensi "pembalikan" terhadap apa yang dilakukan pemerintah saat ini.
Sebagai bangsa yang beradab, masyarakat Indonesia harus mampu meresapi dan menjalankan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya memahaminya sebagai teori.
Pancasila harus menjadi pelindung yang merangkul semua warga negara tanpa memandang perbedaan latar belakang. Jangan hanya terpaku pada sosok Bung Karno, tetapi juga pelajari dan terapkan ajaran-ajarannya.
Bung Karno bukan bintang yang patut dikultuskan, tetapi dia adalah pemimpin yang merumuskan visi bagi bangsa ini yang patut diteladani.
Penggunaan namanya dalam politik harus diimbangi dengan penghayatan terhadap ide-ide dan konsep yang diajukannya.
Glorifikasi berlebihan terhadap Bung Karno dapat berdampak negatif. Pemahaman yang salah atau berlebihan tentang sosok dan ide Bung Karno bisa menimbulkan perpecahan.
Ketika sosoknya dijadikan simbol politik, masyarakat justru mengabaikan nilai-nilai yang sebenarnya ingin diajarkan oleh Bung Karno.
Dia mengajarkan kita tentang persatuan, keadilan sosial, dan pentingnya keberagaman. Lebih dari itu, ia mengajarkan pentingnya melawan penindasan dan memerdekakan yang papa.
Era sekarang menuntut kita untuk kembali kepada Pancasila dan nilai-nilai Bung Karno, bukan dengan menganggapnya sebagai simbol atau doktrin yang sakral, tetapi dengan memahami dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pancasila dan ajaran Bung Karno bukan hanya teks mati yang kita hafal, tetapi harus menjadi nafas dan jiwa dalam kehidupan kita sebagai bangsa Indonesia.
Selain itu, masyarakat juga harus waspada terhadap segala bentuk penyalahgunaan Pancasila dan nama Bung Karno untuk kepentingan politik.
Mereka harus kritis dan selektif dalam menerima informasi. Mereka harus bisa membedakan antara yang hakiki dan yang palsu, antara substantif dan simbolis.
Dalam konteks ini, tanggung jawab terbesar, baik secara moral, intelektual, maupun ideologis, sejatinya berada di tangan para politisi dan partai politik yang mengklaim diri mereka sebagai Sukarnois.
Mereka, yang secara langsung mewarisi dan membawa gagasan-gagasan Bung Karno, seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga dan mempertahankan Pancasila dan nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh Bung Karno.
Mereka yang mengklaim sebagai penerus ideologi Bung Karno, para politisi dan partai politik ini memiliki peran penting dalam memastikan bahwa Pancasila dan ajaran Bung Karno tetap relevan dan terus dihargai dalam perubahan zaman.
Namun demikian, ini bukan berarti masyarakat umum tidak memiliki peran. Semua warga negara harus sadar bahwa Pancasila dan ajaran Bung Karno adalah bagian dari identitas mereka sebagai bangsa.
Kedua elemen ini bukan hanya menjadi dasar bagi negara kita, melainkan juga menjadi petunjuk bagi kita semua dalam menghadapi berbagai tantangan dan perubahan zaman.
Dengan demikian, tanggung jawab ini merupakan tanggung jawab bersama, di mana setiap individu di Indonesia memiliki peran dalam menjaga dan merawat warisan yang ditinggalkan oleh Bung Karno.
Menyusuri perjalanan bangsa ini, kita menyaksikan bagaimana Pancasila dan ajaran Bung Karno telah menjadi landasan dan rumusan ideologi negara.
Tetapi, adakah refleksi yang cukup mendalam? Apakah warisan ideologis ini benar-benar telah terpatri dalam praktik kehidupan kita, atau hanya menjadi simbol retoris tanpa hikmah nyata?
Sejauh mana kita bisa menghargai dan melaksanakan nilai-nilai yang ditanamkan oleh Pancasila dan Bung Karno jika kita biarkan mereka terpinggirkan atau dimanipulasi demi kepentingan politik?
Jika kita tidak berwaspada, Pancasila dan Bung Karno bisa berubah menjadi bintang jauh di langit malam - terang dan indah, tetapi jauh dan tidak terjangkau.
Dalam konteks ini, penting bagi para politisi dan partai politik, khususnya mereka yang mengklaim diri sebagai Sukarnois, untuk melakukan introspeksi.
Mereka memiliki tanggung jawab moral, intelektual, dan ideologis terbesar dalam menjaga dan menerapkan nilai-nilai yang diajarkan oleh Pancasila dan Bung Karno.
Bagaimana mereka bisa mengubah Pancasila dan ajaran Bung Karno dari sekadar ideologi yang dianggap sakral menjadi nafas dan jiwa kehidupan sehari-hari masyarakat?
Kesimpulan ini bukan hanya bertujuan mengakhiri diskusi, melainkan untuk membuka pemikiran baru.
Bagaimana jika kita mencoba melihat Pancasila dan Bung Karno tidak hanya sebagai simbol identitas, tetapi juga sebagai kunci untuk membuka pintu masa depan yang lebih baik bagi Indonesia?
Pertanyaan ini bukan hanya ditujukan kepada para politisi dan partai politik, melainkan kepada kita semua sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.