Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Darmansjah Djumala
Diplomat dan Dewan Pakar BPIP Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri

Dewan Pakar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri dan Dosen Hubungan Internasional di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung.

Menimbang Proposal Prabowo untuk Perdamaian Rusia-Ukraina

Kompas.com - 10/06/2023, 12:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MENTERI Pertahanan Indonesia Prabowo Subianto mengusulkan perdamaian antara Rusia dan Ukraina pada acara Dialog Shangri-La ke-20 di Singapura, 3 Juni lalu.

Di forum dialog yang membahas isu pertahanan dan keamanan dunia itu, Prabowo menawarkan lima butir langkah yang harus ditempuh untuk mendamaikan Rusia-Ukraina.

Tawaran tersebut, yakni gencatan senjata, pasukan Rusia dan Ukraina mundur 15 kilometer, zona demiliterisasi diawasi PBB, mengirim pasukan pemantau, dan penyelenggaraan referendum.

Pemerintah Ukraina, melalui Menteri Pertahanan Oleksiy Reznikov, menolak proposal Prabowo tersebut. Menhan Reznikov menilai usul langkah perdamaian itu aneh.

Langkah-langkah yang disarankan Menhan Indonesia itu, dalam pendengaran Ukraina, seperti usulan Rusia, bukan dari Indonesia.

Dengan penolakan Ukraina, apa boleh buat, usul Prabowo itu “death before its birth” (mati sebelum lahir).

Pemandangan udara Bakhmut, tempat pertempuran sengit antara pasukan Ukraina dan pasukan Rusia di wilayah Donetsk, Minggu (26/3/2023).AP PHOTO/LIBKOS Pemandangan udara Bakhmut, tempat pertempuran sengit antara pasukan Ukraina dan pasukan Rusia di wilayah Donetsk, Minggu (26/3/2023).
Mengapa Ukraina menolak mentah-mentah proposal yang dilandasi niat baik itu? Lantas bagaimana melihat proposal Prabowo itu dalam perspektif resolusi konflik?

Setidaknya ada tiga timbangan yang dapat digunakan dalam menilai proposal perdamaian Prabowo.

Pertama, dengan menggunakan timbangan Konstitusi. Dalam konteks pelaksanaan amanat Konstitusi, usul Prabowo itu dapat dipahami.

Niat baik Prabowo dengan proposal damainya merupakan manifestasi amanat Konsitusi, yaitu ikut berkontribusi dalam upaya memelihara perdamaian dunia.

Sebelumnya, pada akhir Juni 2022, Indonesia pernah berinisiatif membuka pintu dialog bagi Rusia dan Ukraina untuk memulai pembicaraan damai melalui kunjungan Presiden Jokowi yang penuh risiko.

Betapa tidak, kunjungan itu dilakukan di tengah kecamuk perang yang masih mengganas. Sejatinya, kunjungan Jokowi itu, terlepas dari hasil konkret yang dicapai, adalah manifestasi dari pelaksanaan amanat Konstitusi: ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Berperan aktif dalam perdamaian dunia adalah naluri kebijakan luar negeri Indonesia. Dalam konteks ideal seperti inilah proposal Prabowo patut diapresiasi.

Kedua, dalam perspektif resolusi konflik, langkah-langkah perdamaian usulan Prabowo sangat lumrah. Hampir semua inisiatif perdamaian untuk menyelesaikan konflik di dunia mesti melalui langkah dan pendekatan seperti lima butir usulan Prabowo itu.

Namun sebelum melakukan langkah awal untuk menyelesaikan konflik antarnegara, satu hal yang perlu dicermati: kemauan politik dari pihak yang bertikai sendiri.

Proses penyelesaian konflik hanya bisa dimulai jika ada kemauan politik dari kedua pihak yang bertikai untuk berdamai (kecuali jika salah satu pihak jauh lebih kuat secara militer dari pihak lainnya sehingga bisa memaksakan kehendaknya kepada lawan secara paksa untuk menyerah).

Kehendak politik dari pihak yang bertikai untuk berdamai sangat ditentukan oleh “kematangan situasi” yang mendorong kedua pihak untuk menyelesaikan konflik.

Dalam khasanah resolusi konflik dikenal satu teori yang disebut “ripe and hurting stalemate” (William Zartman, International Conflict Resolution After the Cold War, 2000).

Teori ini meletakkan satu premise dasar: upaya perdamaian bisa dimulai jika situasi konflik yang dihadapi sudah “matang” (ripe), yaitu saat di mana kedua belah pihak sudah merasa perlu dan terpaksa untuk menyelesaikan konflik.

Situasi matang itu bisa terjadi tatkala kedua belah pihak sudah menemui “jalan buntu yang menyakitkan” (hurting stalemate).

Pada titik ini pihak yang bertikai merasa tidak ada harapan untuk memenangi peperangan. Daripada terus menderita akibat perang, lebih baik mulai menyelesaikan konflik dan berdamai.

Situasi perang Rusia-Ukraina belum sampai pada tahap jalan buntu. Kedua belah pihak masih memiliki harapan untuk memenangi peperangan.

Buktinya, Rusia masih terus melakukan ofensif ke wilayah Ukraina. Sementara Ukraina masih terus berusaha bertahan dan menyerang balik dengan bantuan Uni Eropa dan NATO.

Belum adanya situasi “hurting stalemate” ini yang menyebabkan Ukraina, dan juga mungkin Rusia, belum melihat perlunya pembicaraan damai. Inilah alasan utama penolakan Ukraina terhadap usul Prabowo.

Ketiga, usul Prabowo dapat juga dipindai dari pososi Indonesia di PBB terkait konflik Rusia-Ukraina. Indonesia termasuk salah satu negara yang mendukung Resolusi PBB No. ES-11/1, 2 Maret 2022, yang mengecam invasi Rusia ke wilayah Ukraina (provinsi Luhansk dan Donetsk).

Dengan alasan melanggar kedaulatan negara berdasarkan hukum internasional, bersama mayoritas negara anggota PBB, Indonesia tidak mengakui keabsahan pendudukan Rusia atas kedua provinsi di Ukraina Timur itu.

Sampai saat ini, tentara Rusia masih menduduki beberapa kota strategis di kedua provinsi itu. Mari bandingkan posisi tentara Rusia ini dengan usulan Prabowo yang meminta pasukan Ukraina dan Rusia mundur 15 km dari posisi pasukan saat ini.

Pada titik ini terlihat ada “keanehan” seperti dikatakan oleh Menhan Ukraina. Mengapa aneh?

Katakanlah pasukan Rusia mau mundur 15 km dari posisi sekarang. Itu artinya Rusia masih berada di wilayah sah Ukraina.

Bukankah pasukan Rusia sudah merangsek jauh ke dalam wilayah Luhansk lebih 60 km dan Donetsk lebih 100 km dari perbatasan Rusia-Ukraina?

Meski tentara Rusia mundur 15 km dari posisi sekarang, mereka masih berada di wilayah Ukraina. Ini sama saja dengan membiarkan pendudukan Rusia atas wilayah kedaulatan Ukraina. Sulit membayangkan Ukraina mau menerima kondisionalitas perdamaian seperti ini.

Usul Prabowo meminta pasukan Rusia dan Ukraina mundur 15 km tidak konsisten dengan posisi Indonesia di PBB.

Dalam pembahasan konflik Rusia-Ukraina di PBB akhir Juni 2022, Indonesia mengecam invasi Rusia ke wilayah kedaulatan Ukraina, termasuk di Luhansk dan Donetsk.

Makna tersiratnya: Indonesia mengakui wilayah yang diduduki Rusia di Ukraina Timur adalah teritori di bawah kedaulatan Ukraina.

Jika Rusia mundur hanya 15 km dari posisi sekarang sesuai usul Prabowo, maka itu tidak konsisten dengan posisi Indonesia di PBB yang tidak mengakui pendudukan Rusia di wilayah Ukraina Timur.

Bagaimanapun, bagi Indonesia dan juga PBB, wilayah itu adalah wilayah kedaulatan Ukraina. Di sini letak inkonsistensi proposal Prabowo dengan sikap Indonesia di PBB.

Bisa dipahami jika usulan Prabowo untuk perdamaian Rusia-Ukraina itu ditolak Ukraina sejak awal. Alhasil, proposal itu mengalami “death before its birth”, mati sebelum lahir.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com