TERLEPAS apapun alasannya, baik tersurat seperti yang termaktub dalam rilis FIFA yang dipublikasikan pada Rabu (29/3) lalu, begitu juga yang tersirat dan tersiar dalam berbagai perspektif yang telah sama-sama kita dengar, pastinya Indonesia gagal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 sudah menjadi takdir.
Oleh karena itu, terlepas apapun dalih untuk membenarkan atas takdir itu, pastinya masyarakat dan insan sepak bola Indonesia telah menelan rasa kecewa yang teramat dalam.
Bayangan menonton tim papan atas dunia merumput di negeri sendiri akhirnya hanya menjadi mimpi yang entah sampai kapan menjadi kenyataan.
Jika kita yang hanya sekadar menjadi penonton saja begitu mendalam kekecewaannya, apalagi bagi para skuad timnas yang akhirnya dibubarkan pada Sabtu (1/4) lalu.
Jika kekecewaan kita yang bukan siapa-siapanya dari para pemain garuda muda itu masih belum terobati, apalagi bagi keluarganya, bagi tetangganya, bagi guru-gurunya, dan termasuk teman-temannya. Mereka lebih sangat kecewa lagi.
Oleh karena itu, ketika takdir kegagalan sudah hadir, harus ada langkah agar kekecewaan itu tidak berlarut melahirkan ketidakpercayaan pada bangsa ini.
Lebih khusus lagi adalah supaya tidak larut kepada para pemain yang secara umur di antaranya masih berkategori anak-anak.
Dan, tentu selanjutnya yang jangan dilupakan adalah kepada puluhan juta anak Indonesia yang sedang bercita-cita mengharumkan nama bangsa melalui talentanya sebagai pemain sepak bola.
Juga kepada puluhan juta anak Indonesia lainnya yang sedang menatap asa untuk terus berprestasi di segala lini, sesuai dengan minat dan bakat yang mereka miliki.
Tragedi ‘kegagalan’ sepak bola yang telah terjadi ini sebaiknya dipandang secara komprehensif. Bukan hanya ujungnya saja yang kemudian kita terjemahkan dengan kegagalan-kegagalan atau kekalahan-kekalahan itu.
Konsep sederhananya adalah karena sepak bola tidak bisa dipisahkan dari peran (elite) negara, maka lihat saja dinamika yang hadir dalam perjalanan negara ini.
Salah satu hal yang sepertinya sulit untuk dibangun adalah semangat persatuan. Sungguh sangat benarlah ketika para pendiri bangsa ini merumuskan salah satu sila dasar negara terkait dengan persatuan.
Persatuan Indonesia adalah pesan betapa pentingnya meletakkan ego pribadi atau golongan untuk kemudian bergerak bersama melancarkan jalannya perjalanan bangsa sehingga terciptanya kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat.
Per hari ini, apa yang kita lihat? Sepertinya masyarakat sudah sangat paham ritme yang hadir. Ketika pentas politik sudah berlalu, perihal bagi-bagi kekuasaan bukan lagi menjadi hal yang tabu.
Sebaliknya, ketika pentas politik mendekat, mereka yang tadinya saling bersama mulai berjauh-jauhan untuk saling berebut memenuhi hajatan masing-masing, yakni merebut kekuasaan lagi.
Kapan posisi dan suara masyarakat terasa sangat dimanjakan? Hanya ketika musim kampanye tiba.
Tidak heranlah kalau akhirnya selalu muncul fenomena yang sangat bertolak belakang dan sekaligus bisa menimbulkan kecemburuan sosial.
Di satu sisi, ada pejabat yang harta kekayaannya terus melesat, sementara di sisi lain banyak masyarakat miskin berjatuhan dari garis kemiskinannya sehingga kehidupan mereka terus melarat tak bertepi.
Terlepas apakah kontradiksi sosial ini imbas dari kesungguhan masing-masing kita dalam berusaha mencari rezeki. Akan tetapi kabar hadirnya tindakan yang menyebabkan kerugian negara akibat praktik korupsi terus berdatangan silih berganti.
Sebuah perilaku zalim yang kelak berdampak pada ketimpangan pendapatan serta melonjaknya angka kemiskinan itu. Setidaknya, per September 2022, jumlah penduduk miskin yang tercatat menurut BPS berjumlah 26,36 juta jiwa.
Singkat cerita. Dari kondisi yang demikian, apa yang kemudian kita harapkan akan keberlanjutan asa atas setiap anak-anak di Indonesia ini?
Sejenak mari kita kembali melihat hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) yang menunjukkan angka prevalensi stunting Indonesia masih tinggi, yakni sebesar 21,6 persen.
Kondisinya lebih miris lagi ketika melihat hasil riset dari Harian Kompas (2022) yang menyatakan 68 persen atau setara dengan 183,7 juta orang Indonesia tidak mampu membeli makanan bergizi.
Gizi yang kurang tentunya akan memberikan banyak dampak buruk selanjutnya. Mulai dari kemampuan kognisinya, kesehatan mental, sampai pada bentuk serta kekuatan fisik.
Belum lagi ketika kita bicara ranah keamanan dan kenyamanan mereka. Mulai dari ruang bermain yang semakin sirna, asupan udara segar yang semakin tercemari, tayangan media yang semakin tak ramah, dan sampai pada ancaman perilaku yang semakin mengikis moral dan etika.
Nah, kalaulah para elite negeri ini hanya sekadar sibuk untuk berorientasi mempertahankan kuasanya belaka — baik melalui perebutan kursi pada tiga cabang kekuasaan negara maupun pada berbagai partai politik, induk organisasi, termasuk organisasi olahraga nasional yang ada — tanpa ada usaha untuk mendahulukan kepentingan masyarakat yang di antaranya seperti yang sudah termaktub dalam angka-angka di atas tersebut.
Jika demikian, agaknya sulit bagi kita berharap lebih banyak. Adanya hanya melahirkan berbagai kekecewaan yang terus datang silih berganti.
Sebagaimana kekecewaaan anak-anak bangsa atas gagalnya timnas untuk tampil dalam perhelatan piala dunia U-20 di Indonesia.
Semoga dari (kasus-kasus) sepak bola, kita bisa belajar banyak untuk memperbaiki perjalanan bangsa ini. Termasuk jalan bagi anak-anak bangsa dalam meraih mimpinya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.