JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah pihak mengaku vonis mati yang dijatuhkan kepada guru pemerkosa 13 santriwati, Herry Wirawan, sudah tepat. Vonis tersebut diharapkan memberikan peringatan kepada pelaku kekerasan seksual lain, sekaligus memberikan efek jera kepada Herry.
Diketahui, vonis mati kepada Herry Wirawan telah berkekuatan hukum tetap setelah Mahkamah Agung (MA) menolak gugatan kasasi. Vonis mati awalnya diberikan oleh Pengadilan Tinggi Bandung.
Selain hukuman mati, pelaku juga harus membayar restitusi sebesar Rp 331.527.186, dan memberikan akses pengasuhan alternatif bagi 9 anak setelah mendapat izin dari keluarga para korban dan para anak korban kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Baca juga: Berkaca Kasus Herry Wirawan, Vonis Mati Dinilai Tak Bikin Jera Pelaku Kekerasan Seksual
Harta kekayaannya pun diambil untuk membiayai pendidikan dan kelangsungan hidup para anak korban maupun bayinya.
Harapan vonis mati memberikan efek jera datang dari dua kementerian yang punya andil besar dalam penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan sekolah, yaitu Kementerian Agama dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).
Harapan dari Lingkungan Kementerian Agama (Kemenag) disuarakan oleh Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Waryono Kemenag, Abdul Ghafur.
Ia menilai, vonis mati diputuskan hakim usai mempertimbangkan banyak hal. Vonis mati juga merupakan bentuk ketegasan hakim dan keteguhan penegak hukum atas kasus kekerasan seksual yang Herry lakukan.
“Ini bentuk ketegasan hakim. Ini juga mengingatkan kepada setiap kita agar tidak berbuat seperti itu,” ucap dia.
Di sisi lain, ia mengakui, kasus Herry Wirawan terjadi sebelum terbitnya Peraturan Menteri Agama No 73 tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama.
Baca juga: Herry Wirawan Dihukum Mati, Menteri PPPA: Tidak Ada Kasus Kekerasan Seksual yang Dapat Ditoleransi
Saat ini, Kemenag sudah mempunyai regulasi yang mengatur upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lembaga pendidikan. SOP atas regulasi pun sudah hampir jadi.
Oleh karena itu, ia berharap penerapan regulasi akan bisa menekan terjadinya potensi tindak kekerasan seksual di lembaga pendidikan.
“Akan kami sosialisasikan agar lembaga pendidikan dapat memberikan pemahaman kepada stakeholder-nya bahwa kejahatan seksual adalah kejahatan kemanusiaan,” ucap dia.
Harapan lainnya datang dari Kementerian PPPA. Menteri PPPA Bintang Puspayoga menilai putusan tersebut sudah tepat mengingat kasus kekerasan seksual tidak dapat ditoleransi siapapun pelakunya.
Bintang berharap putusan kasasi dapat memberi efek jera terhadap pelaku.
Putusan itu diharapkan menjadi tonggak terhadap penegakan hukum pidana yang maksimal dan adil berdasarkan Undang-Undang (UU) terhadap setiap pelaku kekerasan seksual.
Sekaligus menunjukkan ketegasan institusi penegak hukum dalam memberantas tindak pidana kekerasan seksual.
Baca juga: Jejak Kasus Herry Wirawan, Pemerkosa 13 Santriwati yang Kini Menanti Hukuman Mati
"Tidak ada kasus kekerasan seksual yang dapat ditoleransi dan siapapun pelakunya, hukum harus ditegakkan dan di proses dengan peraturan yang sesuai. Tidak ada toleransi bagi pelaku kekerasan seksual dalam bentuk apapun itu,” beber Bintang.
Kasus ini sendiri sudah menjadi perhatian serius KemenPPPA dengan mencermati dan mengawal proses hukumnya. Pasalnya, kasus kekerasan merupakan sebuah bentuk kejadian yang berulang.
Dalam upaya memutus rantai kekerasan dan keberulangan tersebut, Bintang mendorong setiap masyarakat yang mengalami ataupun mengetahui adanya tindak kekerasan segera melaporkannya kepada pihak berwajib.
Selain itu, bisa melapor ke Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), serta Layanan SAPA 129 KemenPPPA melalui hotline 129 atau WhatsApp 08111-129-129.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Nihayatul Wafiroh menilai putusan hakim menjadi peringatan bagi pedofil yang lain.
Vonis mati dijatuhkan mengingat kesalahan yang dilakukan Herry berlipat ganda. Dari 13 santri yang diperkosa, sebagian besar sampai hamil dan memiliki anak.
Wanita yang akrab disapa Ninik ini menyampaikan, Herry menghancurkan hidup 13 santriwati tersebut. Meski mereka masih hidup, ada beban emosional dan trauma yang akan dibawanya.
"Hukuman mati sebagai bentuk warning (peringatan) bagi pelaku pedofil, bahwa negara tidak main-main dalam menangani ini, dan ini tidak boleh terjadi lagi. Semoga dengan seperti itu akan ada efek jeranya," ucap Ninik.
Sebagai informasi, perbuatan pemerkosaan itu dilakukan Herry Wirawan sejak 2016 hingga 2021. Herry memerkosa 13 santriwati itu di banyak tempat, seperti pesantren, hotel, dan apartemen.
Fakta persidangan pun menyebutkan bahwa terdakwa memerkosa korban di gedung yayasan KS, pesantren TM, pesantren MH, basecamp, apartemen TS Bandung, hotel A, hotel PP, hotel BB, hotel N, dan hotel R.
Pelaku adalah guru bidang keagamaan sekaligus pimpinan yayasan itu. Para korban diketahui ada yang telah melahirkan dan ada yang tengah mengandung.
Pada pengadilan tingkat pertama, hakim menyebut perbuatan Herry mengakibatkan perkembangan anak menjadi terganggu. Fungsi otak anak korban pemerkosaan juga menjadi rusak.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.