PERTANYAAN yang seringkali muncul di kelas adalah, apakah hukum sebuah negara bisa berlaku di wilayah teritorial negara lainnya?
Jawabannya adalah bisa. Inilah yang dalam hukum disebut sebagai jurisdiksi ekstra teritorial (extraterritorial jurisdiction).
Pemberlakuan hukum negara lain, sebenarnya bisa terjadi tidak hanya dalam rezim pidana. Pemberlakuan hukum asing dalam konteks yang berbeda, juga sudah lazim terjadi dalam rezim Hukum Perdata Internasional (HPI).
Jauh sebelum prinsip jurisdiksi ekstrateritorial populer, pemberlakuan hukum asing di suatu negara sudah biasa terjadi dalam peristiwa Perdata Internasional.
Dalam Hukum Perdata Internasional, pemberlakuan hukum asing sebagai applicable law, lazim diterapkan dalam kontrak-kontrak internasional yang melibatkan dua atau lebih korporasi atau warga negara berbeda kewarganegaraan.
Dalam kontrak internasional para pihak biasanya secara eksplisit membuat klausul pilihan hukum (choice of law) yang menunjuk hukum negara tertentu.
Prinsip Jurisdiksi Ekstra Teritorial yang berbeda konteks dengan aplicable law dalam HPI ini penting untuk menangani pelanggaran data pribadi di luar negeri.
Juga terkait pelanggaran dan kasus hukum Pelindungan Data Pribadi, cybercrime, Kekekarasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), pelanggaran HAM dll.
Prinsip jurisdiksi ekstrateritorial sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP).
Ketentuan itu menyatakan, bahwa Undang-Undang ini berlaku untuk Setiap Orang, Badan Publik, dan Organisasi Internasional yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Kriteria pemberlakuan ini adalah mencakup subyek hukum yang berada di wilayah hukum Negara Republik Indonesia, dan di luar wilayah hukum Negara Republik Indonesia yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Negara Republik Indonesia; dan/atau bagi Subjek Data Pribadi warga negara Indonesia di luar wilayah hukum Negara Republik Indonesia (pasal 2 UU PDP).
Frasa “bagi Subjek Data Pribadi warga negara Indonesia di luar wilayah hukum Negara Republik Indonesia” bermakna bahwa UU PDP tidak sekadar memperluas yurisdiksi hukum Indonesia, terhadap tindakan yang akibat hukumnya berdampak dan dirasakan di wilayah Indonesia.
UU ini juga diproyeksikan untuk melindungi Subjek Data Pribadi warga negara Indonesia, yang berada di luar negeri.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) saat ini juga menjadi bagian dari penerapan jusrisdiksi ekstra teritorial. Hal ini menjadi perhatian internasional karena maraknya kasus KDRT yang pada gilirannya menimbulkan korban, yang seringkali tidak tampak kepermukaan.
Negara yang memberlakukan prinsip jurisdiksi ekstrateritorial untuk kasus KDRT antara lain adalah Inggris.
Sebagaimana dilansir GOV.UK yang mempublikasikan tulisan dengan judul: Policy paper Extraterritorial jurisdiction factsheet (Update 11 Juli 2022) menegaskan bahwa, dengan penerapan prinsip ini maka warga negara Inggris yang melakukan pelanggaran KDRT di luar Inggris dapat diadili di Inggris.
Inggris mendasarkan hukum nasionalnya, pada Konvensi Dewan Eropa tentang pencegahan dan pemberantasan kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan dalam rumah tangga (“Konvensi Istanbul”).
Konvensi ini menetapkan standar yang mengikat dalam hukum internasional, untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban dan menghukum pelaku. Inggris telah menandatangani Konvensi Istanbul pada Juni 2012.
Berdasarkan Pasal 44 Konvensi Istanbul memungkinkan penegak hukum Inggris dapat menuntut tindakan kriminal yang dilakukan di luar Inggris oleh warga negara Inggris atau orang yang biasa tinggal di Inggris.
Konvensi mencakup hal cukup luas, meliputi kekerasan psikologis, fisik, seksual, penguntitan, KDRT, dll.
Pertanyaan kritis diungkap oleh Anthony J. Colangelo, Profesor dari Southern Methodist University AS.
Anthony menyatakan, bahwa prinsip ekstrateritorialitas adalah fenomena fundamental. Anthony juga secara kritis lebih jauh bertanya tentang kapan dan bagaimana Amerika Serikat dapat menjalankan kekuasaan hukum di luar perbatasan AS itu.
Apa yang dipikirkan Anthony juga menjadi pemikiran banyak pakar hukum. Namun meskipun penerapan dan penegakan hukum lintas negara tidaklah mudah, tidak berarti kita harus meninggalkan prinsip ini, apalagi di era digital di mana batas teritorial begitu samar bahkan terlintasi secara online kapan saja.
Kebijakan pemerintah Inggris secara umum adalah, bahwa tindak pidana paling baik jika ditangani oleh sistem peradilan pidana negara tempat pelanggaran itu terjadi.
Namun jika tersangka tidak diadili di negara lain, maka penuntutan akan dilakukan di Inggris jika orang yang dituduh secara fisik berada di Inggris dan menyangkut kepentingan umum.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) juga pada prinsipnya menerapkan prinsip jurisdiksi ekstrateritorial. RKUHP saat ini tengah dibahas di Parlemen.
Asas ini terdapat pada Pasal 4 RKUHP. Penuangan asas ini dalam RKUHP menunjukan respons yang baik terhadap fenomena Cybercrime yang marak saat ini.
Pasal 4 RKUHP menyatakan bahwa, ketentuan pidana dalam Undang-Undang berlaku bagi Setiap Orang yang melakukan Tindak Pidana di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Tindak Pidana di Kapal Indonesia atau di Pesawat Udara Indonesia, atau, Tindak Pidana di bidang teknologi informasi atau Tindak Pidana lainnya yang akibatnya dialami atau terjadi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di Kapal Indonesia dan di Pesawat Udara Indonesia.
Pasal 4 Huruf c, prinsipnya memberlakukan hukum Indonesia terhadap perbuatan pidana yang akibatnya dialami atau terjadi di Indonesia.
Prinsip ini tampaknya belum mencakup tindakan KDRT yang dilakukan WNI di luar negeri (terhadap WNI atau siapapun) yang berada di luar negeri. Hal yang terakhir ini akibatnya justru dirasakan oleh individu yang berada di luar negeri dan bukan di Indonesia.
KDRT saat ini bisa terjadi lintas teritorial. Ancaman kegiatan menguntit (cyber stalking), pelecehan daring, bisa terjadi secara online melalui sarana digital dan melampaui batas-batas negara.
Dalam beberapa kasus, hal ini memiliki korelasi juga dengan pelanggaran data pribadi, pencemaran nama baik, dan tindakan tidak menyenangkan.
Sudah saatnya Indonesia menerapkan prinsip ini lebih luas. Tentu dengan selektif dan tidak mengeneralisasi untuk semua rezim hukum.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.