PEMERINTAH melalui Kementerian Hukum dan HAM sedang gencar-gencarnya melakukan sosialisasi Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) agar memiliki legitimasi partisipatif untuk segera disahkan menjadi undang-undang.
Hal ini sudah bisa dipastikan untuk menepis penilaian rendahnya partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan apabila RKUHP jadi disahkan.
Di sisi lain, di bawah koordinasi dan komando Kementerian Koordinator Perekonomian, setiap kementerian diminta gencar melaksanakan dan melaporkan capaian sosialisasi Undang-Undang Cipta Kerja.
Hal ini juga dilakukan sebagai langkah Pemerintah menindaklanjuti putusan inkonstitusional bersyarat Mahkamah Konstitusi yang menyatakan pembentukan UUCK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan'.
Dari dua proses legislasi tersebut, sosialisasi terkesan memiliki tendensi positif terbukanya Pemerintah terhadap aspirasi masyarakat dalam proses pembentukan undang-undang.
Akan tetapi, sejatinya proses sosialisasi yang tengah dilakukan oleh Pemerintah terhadap dua produk undang-undang tersebut, telah menyalahi hakikat partisipasi yang bermakna (meaningful participation).
Sebab, sosialisasi sebagaimana yang tengah gencar-gencarnya dilakukan oleh Pemerintah, berlaku satu arah dan sama sekali tidak merepresentasikan legitimasi publik yang sesungguhnya.
Sebagai aktivitas, keberadaan sosialisasi sebagai satu kesatuan utuh sejatinya sama sekali tidak menjawab makna utuh dari meaningful participation.
Sebab sosialisasi yang sejauh ini dilakukan merupakan aktivitas yang bersifat satu arah – dari negara kepada masyarakat – bukan dari masyarakat kepada negara atau yang sifatnya timbal balik.
Hal ini dapat diuji dengan memahami arti leksikal dari sosialisasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sosialisasi adalah: 1) usaha untuk mengubah milik perseorangan menjadi milik umum (milik negara); 2) proses belajar seorang anggota masyarakat untuk mengenal dan menghayati kebudayaan masyarakat dalam lingkungannya; 3) upaya memasyarakatkan sesuatu sehingga men-jadi dikenal, dipahami, dihayati oleh masyarakat; pemasyarakatan.
Terhadap arti sosialisasi menurut KBBI tersebut, hanya arti ketiga lah yang memiliki kecocokan terhadap konteks sosialisasi produk legislasi yang tengah dilakukan.
Adapun Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 91/PUU-XV-XIII/2020 memberikan penjelasan meaningful participation (partisipasi yang bermakna) sebagai: (1) hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya; (2) hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya; dan (3) hak masyarakat untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.
Lantas benarkah sosialisasi adalah pilihan yang tepat sebagai sarana untuk memenuhi maksud dari meaningful participation?
Adapun maksud putusan Mahkamah Konstitusi menekankan pada aspek hak masyarakat, yang tidak hanya terbatas pada akses atau formalitas penyediaan kanal aspirasi.
Namun benar-benar terhadap partisipasi dapat dijangkau seluas-luasnya, dijadikan pertimbangan, serta diterima atau ditolak dengan dasar dan pertimbangan yang logis.
Sementara itu, terhadap RKUHP dan UU Cipta Kerja yang tengah gencar dilaksanakan, adalah sebenar-benarnya sosialisasi sebagaimana arti ketiga menurut KBBI.
Tanpa bisa dikaitkan dengan tafsir Mahkamah Konstitusi perihal meaningful participation.
Sekalipun ada respons balik yang diberikan oleh peserta (masyarakat) dari setiap kegiatan sosialisasi yang dilakukan, hal tersebut tidak cukup kuat sebagai justifikasi bahwa telah terserapnya aspirasi riil masyarakat yang sifatnya masif dan proporsional.
Belum lagi ada faktor keterbatasan waktu penyelenggara dan tempat penyelenggaraan yang membatasi kemungkinan memperoleh respons dari masyarakat secara kuantitas maupun kualitas, hingga subjektivitas penentuan peserta dan memilih siapa yang dapat menyampaikan pandangannya.
Sekalipun wujud penyelenggaraan diganti menjadi diskusi publik ataupun seminar, fakta yang terlihat tetap berupa sosialisasi.
Karena materi penyelenggaraan dimonopoli oleh materi sosialisasi dari pembentuk undang-undang, baik lewat perwakilan pembentuk undang-undang maupun “ahli-ahli” peganggannya.
Kalaulah kegiatan sosialisasi yang dilakukan sampai diuji kekuatan legitimasi partisipatifnya – benar secara prosedural dan valid serta proporsional keterwakilan aspirasionalnya dalam hal substansi.
Aspek penominasian lokasi, peserta, narasumber, hingga respons balik dari atas setiap penyampaian sudah bisa dipastikan tidak akan menjawab kebutuhan makna esensial meaningful participation.
Sebab sosialisasi yang sejatinya hanya bisa diterima untuk produk legislasi yang telah disahkan atau wacana rencana program legislasi yang baru akan dikembangkan.
Bukan terhadap sebuah produk legislasi yang tengah dalam proses pembentukan, apalagi tengah diambangkan keabsahannya.
Di sisi lain sudah bisa dipastikan materi sosialisasi adalah penampilan sisi subjektivitas. Yang mana hari ini, sisi subjektivitas tersebut bagian dari political side yang “dipaksakan” untuk dikerjakan oleh institusi birokrasi berwatak feodal.
Kemudian turut didukung oleh academic side yang telah kehilangan independensi dan integritas ilmiahnya.
Ada manipulasi makna terhadap aspirasi autentik masyarakat berkat kegiatan sosialisasi yang keliru dimaknai mampu memenuhi arti dari meaningful participation.
Tentu keadaan ini tidak lepas dari pemaksaan kehendak politik kekuasaan yang merantai birokrasi pemerintahan.
Menjadi sangat berbahaya ketika dilakukan terhadap produk undang-undang yang secara konstitusional telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, UU Cipta Kerja.
Tentu merupakan tindakan yang sia-sia dan wajib ditagih pertanggungjawaban keuangan negaranya kepada semua kementerian/lembaga terkait, karena melaksanakan sosialisasi terhadap undang-undang yang telah dibatalkan oleh badan peradilan.
Pemerintah semestinya belajar, ketergesa-gesaan dalam pembentukan undang-undang tidak menyelesaikan masalah. Justru menambah pekerjaan baru, sementara masalah yang lama tetap tidak terselesaikan secara otomatis.
Panduan konstitusional terhadap mekanisme partisipasi publik yang diberikan Mahkamah Konstitusi lewat klausa meaningful participation semestinya dipahami sebagai bantuan kemudahan terhadap proses pembentukan undang-undang oleh Pemerintah dalam rangka memperkokoh fondasi negara hukum yang demokratis.
Namun, sejauh ini pemerintah sepertinya masih belum puas untuk menggerogoti pondasi bangunannya sendiri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.