Kendaraan umum yang biasa berlalu lalang di Kota Kendari semakin sepi dari tumpangan penumpang.
Antrean kendaraan untuk mengisi BBM jenis solar dan pertalite mengular hingga meluber ke jalanan.
Kehidupan sopir truk pengangkut barang tidak kalah dilematisnya. Waktu yang dihabiskan untuk mendapatkan BBM jenis solar di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) sudah sedemikian lama dan terkadang sudah lama menunggu ternyata saat mendapat giliran sudah habis.
Waktu yang tersisa, kadang tidak menutupi pengeluaran operasional kendaraan. Kebutuhan keluarga menjadi hal yang akhirnya harus mengalah.
Bagi para pelancong yang kerap bertandang ke Jogyakarta, kawasan Malioboro adalah tempat yang begitu “ngangeni”.
Kawasan yang menjadi heritage, memanjang dari sisi Stasiun Kereta Api Tugu hingga Alun-alun Keraton Jogyakarta. Pemusik jalanan, penjual aneka suvenir, puluhan toko batik, dan pengemudi kereta andong memenuhi jalanan Malioboro.
Tetapi kini “wajah” Malioboro tidak seperti dulu lagi. Wajah-wajah muram dan susah dari ratusan karyawan Malioboro Mall dan Hotel Ibis kini menggayuti ronah kehidupan Malioboro.
Pekerja yang sudah puluhan tahun bekerja di pertokoan legendaris tersebut ditambah pegawai hotel harus “tercerabut” nasibnya karena aksi pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak.
Tanpa ada pengumuman sama sekali, terkesan mendadak dan semena-mena para karyawan Malioboro Mall dan Hotel Ibis diminta “angkat kaki” segera.
Saya tidak bisa membayangkan gundah gulana karyawan dan keluarganya akibat titah Sultan di Yogayakarta yang katanya “istimewa”.
Memang bukan Sri Sultan Hamengku Buwono X yang memecat langsung, tetapi dikarenakan berakhirnya kontrak bangun guna serah selama 30 tahun.
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (Pemda DIY) tidak memberi kepanjangan kerjasama kepada pengelola lama. Justru pihak Pemda DIY menunjuk PT Setia Mataram Tri Tunggal sebagai pengelola yang baru.
Bagi karyawan lama tentu tidak berkepentingan dengan urusan saham atau pemilik pengelola yang baru, justru yang mereka kehendaki adalah keberlangsungan kehidupan mereka dengan tetap menjadi karyawan.
Tidak urung, himbauan Sri Sultan agar tidak terjadi PHK dan karyawan lama mendapat prioritas untuk direkrut kembali oleh manajemen yang baru hanya sekadar angin lalu.
Nyatanya, pihak pengelola yang baru tetap membuka lamaran untuk calon karyawan dan karyawan lama harus mengikuti seleksi lagi.
Alasan Pemda DIY tidak memperpanjang pengelolaan Malioboro Mall dan Hotel Ibis Malioboro oleh manajemen lama karena tidak maksimalnya pembagian keuntungan dari aspek pendapatan (Kompas.com, 15 September 2022).
Sayangnya, Pemda DIY maupun Sultan tidak memperhitungkan dampak sosial dari keputusan tersebut.
Di satu sisi, Pemda DIY ingin menaikkan pendapatan daerah, tetapi di sisi lain tidak memperhatikan imbasnya terhadap nasib para karyawan dan keluarganya.
Andai saja ada 300 karyawan Malioboro Mall dan Hotel Ibis Malioboro yang terkena PHK dan setiap karyawan memiliki tiga orang tanggungan seperti istri dan dua anak, maka ada 900 jiwa yang terkena pengaruh dari aksi pemecatan sepihak.