JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bakal menambah 7 laboratorium pemeriksa skrining hipotiroid kongenital (SHK) pada tahun ini.
Tujuannya, mendeteksi gangguan hormon tiroid pada anak atau bayi baru lahir yang bisa menyebabkan masalah kesehatan serius, seperti gangguan pada saraf otak anak.
Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono mengatakan, baru ada 4 lab pemeriksa SHK.
“Sekarang baru ada 4 lab yang bisa melakukan pemeriksaan SHK. Dengan keinginan kita untuk melakukan pemeriksaan kepada seluruh bayi baru lahir, maka kita perlu meningkatkan jumlah laboratorium dari 4 laboratorium menjadi 11 laboratorium,” tutur Dante dalam siaran pers, Kamis (1/9/2022).
Baca juga: 6 Penyakit Kelenjar Tiroid yang Paling Umum
Dante mengatakan, penambahan laboratorium akan dilakukan secara bertahap.
Saat ini, telah dilakukan koordinasi secara intens dengan rumah sakit terkait. Harapannya, dalam waktu dekat rencana ini bisa terealisasi.
Adapun 7 laboratorium itu rencananya ditempatkan di RSUP Karyadi Semarang, RSUP Adam Malik Medan, RSUP Dr M Djamil Padang, RSUP M Hoesin Palembang, RSUP Prof Dr IG Ngoerah Denpasar, RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar, dan RSUP Dr RD Kandouw Manado.
Dia berharap, penambahan ini membuat pengobatan gangguan hormon tiroid tidak terlambat.
Sebab, gangguan ini perlu penanganan sedini mungkin, mengingat mengingat hormon tiroid memiliki peran penting untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan anak.
“Kalau anak-anak memiliki hormon tiroid normal maka pertumbuhan dan perkembangannya akan berlangsung dengan baik dan optimal. Tinggi badan dan berat badannya cukup, kecerdasannya juga bagus,” kata Dante.
Baca juga: Bagaimana Penyakit Tiroid Bisa Memengaruhi Jantung?
Dante menyampaikan, pemeriksaan skrining hipotiroid kongenital (SHK) dapat mempercepat pengobatan pada anak.
Pemberian terapi sebelum anak berusia 1 bulan dapat mencegah terjadinya kerusakan pada saraf otak, sehingga anak dapat tumbuh dengan baik.
Sebab, tak bisa dipungkiri, gangguan hormon tiroid dapat menganggu perkembangan dan pertumbuhan, terutama pada saraf otak anak.
Akibatnya, anak tidak akan tumbuh optimal, cenderung pendek, dan berat badan kurang.
Penemuan kasus dan pengobatan yang terlambat dapat menyebabkan anak mengalami kecacatan maupun keterbelakangan mental.