DIPICU oleh pemaksaan jenis pakaian seragam sekolah, dalam hal ini pemakaian jilbab, terhadap seorang siswi di SMAN 1 Banguntapan, Bantul, banyak orang kemudian memperbincangkannya.
Termasuk unggahan di internet atau media sosial, berupa gambar-gambar atau foto-foto pakaian seragam sekolah SD, SMP, SMA era 1980-an atau 1990-an. Berusaha membandingkannya.
Di satu sisi, apa yang terjadi di SMAN 1 Banguntapan tersebut bisa menjadi peristiwa bullying, kekerasan verbal dan intimidasi.
Terjadi di lembaga pendidikan dan dilakukan oleh tenaga pendidik. Korbannya adalah siswa. Bisa dilihat atau diukur melalui persepsi korban dan sejauh mana ucapan serta tindakan (performatif) pelaku.
Di sisi lain, dalam konteks Indonesia, persoalan pakaian seragam sekolah merupakan turunan dari hal yang lebih fundamental, sehingga tidak sebatas keseragaman bentuk, model, atau warna pakaian.
Tidak sebatas rok panjang atau pendek, baju lengan panjang atau pendek, celana panjang atau pendek, memakai jilbab/hijab atau tanpa jilbab/hijab, pakaian Muslim atau non-Muslim, dll, dst.
Kata kunci ada pada kata “seragam” itu sendiri. Anak-anak sekolah di Indonesia, dari SD, SMP, hingga SMA, diwajibkan untuk memakai pakaian seragam sekolah.
Apapun itu model, bentuk, serta warna pakaian seragamnya, yang antar sekolah bisa berbeda-beda. Namun intinya sama, seragam. Mungkin memang ada sebagian kecil pengecualian.
Penyeragaman pakaian sekolah di Indonesia merupakan bagian dari upaya normalisasi terus-menerus yang dilakukan oleh negara dan elite-elite masyarakat (meski tidak semua) terhadap masyarakat secara keseluruhan.
Normalisasi sejak usia dini. Bisa atas nama agama, nasionalisme, tribalisme, atau identitas-identitas lainnya. Penyeragaman pakaian sekolah, penyeragaman perilaku, dan penyeragaman pikiran.
Untuk menciptakan kepatuhan masyarakat. Penjinakan dan kontrol sosial. Sesuatu yang selalu diupayakan oleh elite-elite politik, agama dan ekonomi.
Tentu tidak semua penyeragaman adalah buruk, misal di dalam konteks persatuan atas perbedaan.
Hanya saja, tradisi penyeragaman di Indonesia tampaknya sering berlebihan, dan dengan alasan yang dipaksakan.
Dilakukan perasionalan (rationalizing), yakni mencari dan memilih bukti tertentu untuk membenarkan kesimpulan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Bukan dengan penalaran (reasoning), yang berangkat dari bukti-bukti hingga sampai pada suatu kesimpulan. Termasuk perasionalan penyeragaman pakaian sekolah.
Penyeragaman pakaian merupakan bagian dari usaha penyeragaman pikiran: membentuk identitas tunggal.
Keseragaman dipasok dan diinternalisasi terus-menerus, dibiasakan, hingga membentuk kebudayaan “seragamisme”.
Banyak pejabat negara dan elite masyarakat sering menyerukan kebinekaan atau merayakan perbedaan.
Namun di sisi lain, anak-anak telah dipaksa diseragamkan sejak usia dini, secara langsung ataupun tidak langsung, melalui lembaga-lembaga pendidikan.
Program kebijakan “Merdeka Belajar”, yang dicanangkan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim, konon memiliki esensi kemerdekaan berpikir, terutama didahului oleh para guru.
Namun pada saat yang sama, tidak sedikit lembaga-lembaga pendidikan, dan pejabat-pejabat pendidikan, justru masih melanggengkan kebudayaan “tidak-merdeka”.
Mereproduksi budaya kepatuhan dan order yang berlebih-lebihan, untuk menjadikan siswa tekun, tetapi jinak.
Sistem pendidikan yang membebaskan berlawanan dengan sistem pendidikan yang berusaha melakukan penjinakan dan dominasi.
Sekolah, sebagai lembaga pendidikan, seharusnya menjadi tempat pertumbuhan berbagai potensi siswa.
Pertumbuhan secara baik hanya dimungkinkan di lahan yang terbuka dan suasana kebebasan. Bukan lahan tertutup dan suasana kekangan.
Kemajuan, atau perkembangan, hanya dimungkinkan di dalam keterbukaan dan kebebasan. Keterbukaan dan kebebasan sering dimatikan oleh keseragaman.
Di dalam keseragaman yang berlebih-lebihan dan terus-menerus, siswa dikondisikan untuk tunduk pada keseragaman dan menghindari perbedaan. Bahkan, bisa takut pada perbedaan.
Penyeragaman berarti pula ditutupnya kanal perbedaan. Sedangkan di dalam perbedaan, ada pilihan-pilihan.
Di dalam perbedaan, pikiran dikondisikan untuk aktif membuat keputusan-keputusan atas pilihan-pilihan yang ada ataupun mengusahakan apa yang belum ada dengan menjadikannya aspirasi kreatif dan inovatif.
Perbedaan juga membentuk sikap toleran. Banyak sekolah di negara-negara lain yang mutu pendidikannya lebih baik dibanding Indonesia tidak menerapkan aturan penggunaan pakaian seragam sekolah.
Siswa bersekolah dengan berpakaian bebas. Ini berarti pula orangtua siswa tidak perlu mengeluarkan biaya pembelian pakaian seragam sekolah.
Tentu juga ada beberapa sekolah di negara-negara tersebut yang menerapkan aturan pakaian seragam sekolah.
Intinya, pakaian seragam sekolah tidak menjadi bagian fundamental dari sistem pendidikan nasional secara keseluruhan.
Di Indonesia, pada saat pengumuman kelulusan siswa SMP dan SMA, banyak siswa yang kemudian mencorat-coret baju seragam sekolah mereka dengan cat, ballpoint, spidol, dll. Tidak semua siswa, tapi cukup banyak.
Meluapkan kegembiraan kelulusan, sekaligus menodai baju seragam sekolah. Baju seragam sekolah seolah menjadi lambang ketidak-bebasan dan penindasan.
Di situ, aksi corat-coret baju seragam sekolah menjadi penanda simbolik kebebasan, apapun maknanya.
Jika demikian, baju seragam sekolah justru bisa jadi merupakan simbol sistem pendidikan yang mengekang. Bertentangan dengan tujuan sistem pendidikan yang membebaskan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.