Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mustakim
Jurnalis

Eksekutif Produser program talkshow Satu Meja The Forum dan Dua Arah Kompas TV

RKUHP, Alat Jerat Rakyat?

Kompas.com - 13/07/2022, 11:27 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PEMERINTAH dan DPR berencana mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Namun, rencana ini menuai kritik dan polemik.

Selain masih banyak pasal bermasalah yang belum diubah, proses pembahasan juga terkesan dilakukan diam-diam.

Setelah mengalami penundaan, RKUHP dikabarkan akan segera disahkan. Pemerintah dan DPR bakal mengesahkan rancangan undang-undang yang sudah makan banyak korban.

Namun, rencana ini ditentang dan mendapat penolakan dari sejumlah kalangan. Karena, pemerintah dan DPR belum mengubah pasal-pasal yang dianggap bermasalah.

Kritik juga mengemuka karena pemerintah dan DPR dinilai tak terbuka. Publik tak bisa mengakses draft ‘revisi’ kitab undang undang yang mengatur soal hukum pidana ini.

Padahal, banyak pasal-pasal yang dinilai berpotensi mengangkangi demokrasi dan mengancam kebebasan berekspresi.

Sejak Soekarno hingga Jokowi

Upaya merevisi regulasi yang mengatur soal tindak pidana ini sebenarnya sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelum era Presiden Jokowi.

Ide merevisi undang-undang peninggalan Belanda ini sudah ada sejak Orde Lama. Seminar Hukum Nasional I yang digelar pada tahun 1963 menghasilkan desakan untuk membuat KUHP Nasional yang baru.

Upaya memperbaiki KUHP juga dilakukan di era Orde Baru. Sejak 1970 pemerintah sudah mulai merancang RKUHP untuk mengganti KUHP yang berlaku saat ini.

Waktu itu, tim perancang dipimpin Prof. Sudarto dan disokong sejumlah Guru Besar Hukum Pidana di Indonesia. Namun, upaya mengganti regulasi peninggalan zaman kolonial ini tak terealisasi.

Upaya ini dilanjutkan di era Reformasi. Pada tahun 2004, tim baru penyusunan RKUHP dibentuk di bawah Prof. Dr Muladi, S.H.

Namun, RKUHP ini baru diserahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada DPR untuk dibahas pada 2012.

DPR periode 2014-2019 kemudian menyepakati draf RKUHP dalam pengambilan keputusan tingkat pertama. Namun, keputusan parlemen memicu berbagai reaksi.

Gelombang penolakan

Proses pembahasan dan rencana pengesahan RKUHP mendapat perlawanan dan penolakan. Ribuan orang dari beragam kalangan turun ke jalan guna menentang rencana pengesahan.

Hal ini terjadi karena draft revisi KUHP ini dinilai mengancam kebebasan berekspresi. Selain itu juga banyak pasal-pasal yang dinilai tidak sesuai dengan iklim demokrasi di negeri ini.

Pada September 2019, Presiden Jokowi akhirnya meminta agar DPR menunda pengesahan RKUHP. Jokowi juga memerintahkan agar pasal-pasal yang bermasalah ditinjau kembali.

DPR secara resmi kembali melanjutkan pembahasan RKUHP pada April 2020. Pembahasan terus bergulir hingga saat ini.

Namun, secara umum tidak ada perubahan substansi di dalam draf RKUHP yang sudah disetujui pada tahun 2019.

Dan, gelombang penolakan kembali terjadi. Karena, secara substansi masih banyak pasal-pasal yang dinilai bisa mengebiri demokrasi dan mengancam kebebasan berekspresi.

Salah satunya pasal yang mengatur soal pasal penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden. Juga pasal penghinaan terhadap pemerintah dan kekuasaan umum atau lembaga negara.

Pasal-pasal ini dinilai rentan digunakan untuk menyerang pihak-pihak yang berseberangan dengan kekuasaaan.

Pasal-pasal ini juga dianggap dapat membuat kebebasan berpendapat menjadi mampat. Selain pasal-pasal tersebut, masih ada belasan pasal yang dinilai perlu dikoreksi dan diperbaiki agar sesuai dengan iklim demokrasi dan memberi ruang pada kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Tertutup

Selain masih adanya sejumlah pasal bermasalah yang tak diubah, proses pembahasan RKUHP juga terkesan diam-diam.

Publik diabaikan dan tak dilibatkan. Tak hanya itu, masyarakat juga sulit untuk bisa mengakses dan mendapatkan draf revisi regulasi yang bakal segera disahkan ini.

Pemerintah memang sudah melakukan sosialiasi terkait draft RKUHP ini. Sayangnya draft itu hanya bisa diakses oleh peserta sosialiasi.

Padahal, draf ini seharusnya dapat diakses melalui Kemenkumham maupun Badan Pembinaan Hukum Nasional. Baik berupa offline maupun online lewat website yang bisa diakses masyarakat.

Berbagai kondisi ini memunculkan berbagai spekulasi. Juga curiga dan syak wasangka. Karena, sebelumnya sejumlah UU yang dinilai bermasalah juga menggunakan pola seperti ini. Sebut saja UU Minerba, UU KPK, UU IKN dan UU Cipta Kerja.

Proses pembahasan sejumlah UU ini dilakukan diam-diam, tidak transparan dan langsung diputuskan meski masih banyak penolakan.

Kita semua sepakat, KUHP warisan Belanda memang harus dikoreksi dan diperbaiki. Itu dilakukan agar regulasi yang mengatur soal tindak pidana ini bisa sesuai dengan kondisi saat ini.

Juga agar sebagai bangsa kita memiliki kitab undang-undang hukum pidana ‘karya’ sendiri. Namun, hendaknya masyarakat jangan diabaikan dan ditinggalkan.

Karena, keterlibatan masyarakat untuk memberikan saran atau masukan dalam proses penyusunan undang-undang adalah sebuah keniscayaan karena sudah diatur dan dijamin undang-undang.

Kenapa pemerintah dan DPR terkesan diam-diam dan mengabaikan berbagai kritik dan masukan?

Lalu, apakah pemerintah dan DPR akan tetap mengesahakan RKUHP meski masih banyak penolakan?

Saksikan pembahasannya dalam talkshow Satu Meja The Forum, Rabu (13/7/2022), yang disiarkan langsung di Kompas TV mulai pukul 20.30 WIB.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo Mau Bentuk 'Presidential Club', Pengamat: Kalau Diformalkan, Berapa Lagi Uang Negara Dipakai?

Prabowo Mau Bentuk "Presidential Club", Pengamat: Kalau Diformalkan, Berapa Lagi Uang Negara Dipakai?

Nasional
Hadiri MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10 di Meksiko, Puan: Kepemimpinan Perempuan adalah Kunci Kemajuan Negara

Hadiri MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10 di Meksiko, Puan: Kepemimpinan Perempuan adalah Kunci Kemajuan Negara

Nasional
Polri Usulkan Penambahan Atase Kepolisian di Beberapa Negara

Polri Usulkan Penambahan Atase Kepolisian di Beberapa Negara

Nasional
Kopasgat Kerahkan 24 Sniper dan Rudal Chiron Amankan World Water Forum di Bali

Kopasgat Kerahkan 24 Sniper dan Rudal Chiron Amankan World Water Forum di Bali

Nasional
Sentil Prabowo yang Mau Tambah Kementerian, JK: Itu Kabinet Politis, Bukan Kabinet Kerja

Sentil Prabowo yang Mau Tambah Kementerian, JK: Itu Kabinet Politis, Bukan Kabinet Kerja

Nasional
Jelang Hari Jadi Ke-731, Pemkot Surabaya Gelar Berbagai Atraksi Spektakuler

Jelang Hari Jadi Ke-731, Pemkot Surabaya Gelar Berbagai Atraksi Spektakuler

BrandzView
Resmi Ditahan, Gus Muhdlor Punya Harta Rp 4,7 Miliar

Resmi Ditahan, Gus Muhdlor Punya Harta Rp 4,7 Miliar

Nasional
KPK Sebut Gus Muhdlor Terima Uang Korupsi Lewat Sopirnya

KPK Sebut Gus Muhdlor Terima Uang Korupsi Lewat Sopirnya

Nasional
Polri Tangkap 142 Tersangka hingga Blokir 2.862 Situs Judi Online

Polri Tangkap 142 Tersangka hingga Blokir 2.862 Situs Judi Online

Nasional
Cuaca di Arab Sangat Panas, Ma'ruf Amin: Jangan Sampai Jemaah Haji Meninggal Kepanasan

Cuaca di Arab Sangat Panas, Ma'ruf Amin: Jangan Sampai Jemaah Haji Meninggal Kepanasan

Nasional
Prabowo Diminta Hindari Kepentingan Bagi-bagi Kursi, Jika Tambah Jumlah Kementerian

Prabowo Diminta Hindari Kepentingan Bagi-bagi Kursi, Jika Tambah Jumlah Kementerian

Nasional
Ada Wacana Duet dengan Ahok di Pilkada DKI, Anies: Memutuskan Saja Belum

Ada Wacana Duet dengan Ahok di Pilkada DKI, Anies: Memutuskan Saja Belum

Nasional
Anies Ingin Memastikan Pilkada Berjalan Jujur dan Bebas Intervensi Sebelum Tentukan Langkah

Anies Ingin Memastikan Pilkada Berjalan Jujur dan Bebas Intervensi Sebelum Tentukan Langkah

Nasional
Kegiatan Ibadah Mahasiswa di Tangsel Dibubarkan Warga, Menko Polhukam Minta Saling Menghormati

Kegiatan Ibadah Mahasiswa di Tangsel Dibubarkan Warga, Menko Polhukam Minta Saling Menghormati

Nasional
JK: Pelanggar UU Lebih Tidak Boleh Masuk Pemerintahan Ketimbang Orang 'Toxic'

JK: Pelanggar UU Lebih Tidak Boleh Masuk Pemerintahan Ketimbang Orang "Toxic"

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com