SELAMA beberapa tahun terakhir, Laut China Selatan (LCS) dan Laut China Timur (LCT) telah muncul sebagai arena persaingan strategis antara China dan Amerika Serikat (AS) yang berpotensi menjadi konflik bersenjata.
Persaingan itu menguat karena beberapa alasan. Partai Komunis China menerapkan kebijakan ‘satu China’ dan bila perlu mengambil alih Taiwan secara paksa.
Kedua, sikap China yang tak mau tunduk pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Walau UNCLOS telah mengakui Kepulauan Spartly sebagai wilayah Filipina, China tetap saja melakukan kegiatan pembangunan pulau dan konstruksi pangkalan militer yang ekstensif di lokasi yang didudukinya di Kepulauan Spratly, serta melakukan operasi penangkapan ikan di wilayah LCS.
Masalah di LCS sebetulnya mulai mencuat pada tahun 1974. Waktu itu kapal perang China menyerang dan mengalahkan sebuah pos kecil militer Vietnam di Paracels – sebuah kepulauan dengan terumbu karang, atol, dan pulau-pulau kecil di LCS.
Lalu, pada tahun 1989 tentara China menyerbu Lapangan Tiananmen untuk menghentikan demonstrasi demokrasi yang dipimpin mahasiswa yang mengakibatkan ratusan orang tewas.
Pesan geopolitiknya adalah ekspektasi Barat bahwa China sedang bertransisi menuju demokrasi politik sepenuhnya ilusi.
Pada tahun 1995, Filipina menemukan bahwa China telah menduduki dan memiliterisasi sebuah atol di dalam Zona Ekono Eksklusif (ZEE) Filipina.
Bahkan China telah lama menerbitkan peta resmi yang menunjukkan batas yang mencakup hampir seluruh LCS dengan "sembilan garis putus-putus" (nine-dash line) yang meliputi sejumlah wilayah milik Filipina, Malaysia, Vietnam, Taiwan dan Brunei Darussalam.
Klaim China atas LCS dibuat karena kawasan itu diperkirakan mengandung 11 miliar barel minyak yang belum dimanfaatkan dan 190 triliun kaki kubik gas alam.
Awalnya, Cina menganggap Indonesia menjadi penengah dan tidak ikut mengklaim sebagian dari wilayah di LCS itu.
Namun, beberapa hari setelah rig semi-submersible Noble Clyde Boudreaux tiba di Blok Tuna di Laut Natuna untuk mengebor dua sumur appraisal pada 30 Juni 2021, sebuah kapal Penjaga Pantai China berada di lokasi.
Tak berapa lama, kapal Penjaga Pantai Indonesia juga ikut berada di sana.
Kemudian, sekitar Agustus-September 2021, China melayangkan memo diplomatik, menuntut Indonesia menyetop pengeboran minyak dan gas alam (migas), karena mengklaim wilayah itu miliknya. (Bdk. Reuters, 02 Desember 2021).
Indonesia dengan tegas menjawab bahwa protes tersebut tidak bisa diterima karena ujung selatan LCS adalah ZEE milik RI di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut, dan pada 2017 Presiden Jokowi memutuskan dan menamai wilayah itu menjadi Laut Natuna Utara.