JAKARTA, KOMPAS.com - Chairil Anwar tergeletak selama 6 hari di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta hingga akhirnya menghembuskan napas terakhir 28 April 1949.
Hari ini, 73 tahun yang lalu pujangga pelopor Angkatan 45 itu pergi selamanya.
Ia disebut menderita penyakit tifus, pun telah lama menderita penyakit paru-paru dan infeksi sejak lama.
Jelang usia ke 27 tahun, Chairil dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Karet Bivak.
Tempat yang pernah ia sebutkan dalam puisinya berjudul Yang Terempas dan Yang Putus.
Baca juga: Patung Chairil Anwar di Malang Akan Ditetapkan Sebagai Cagar Budaya
Di Karet, di Karet, sampai juga deru dingin
Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu:
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang.
Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku.
Berdasarkan buku Chairil Anwar, Hasil Karya dan Pengabdiannya (2009) karya Sri Sutjianingsih di zaman penjajahan Jepang, Chairil dikenal sebagai seorang sastrawan muda yang berani mengemukakan pendapat.
Ia tak setuju dengan sikap berbagai sastrawan yang memilih untuk menjadi corong propaganda Jepang dengan bergabung ke Pusat Kebudayaan atau Keimin Bunka Shidoso pada 1943.
Chairil menginginkan perubahan besar dalam dunia sastra kala itu. Ia kerap mengkritisi puisi angkatan Pujangga Baru dari sisi semangat dan bentuk.
Puisi-puisi Chairil lantas lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia sehari-hari, ketimbang bahasa buku yang kaku.
Bentuk irama puisi Chairil jauh dari pantun, syair, atau sajak bebas angkatan Pujangga Baru. Berbagai karyanya menggambarkan cinta, perjuangan dan pemberontakan.
Gaya itu dinilai memberikan kebebasan berpikir dalam seni dan budaya, sesuatu yang tidak diberikan Jepang pada kesusastraan Indonesia.
Baca juga: Puisi Aku Berkaca karya Chairil Anwar
Chairil telah membawa pembaruan dunia sastra Indonesia kala itu, mendobrak aturan-aturan yang kaku, ia mau jadi manusia merdeka.