Mulai dari postingan soal keberadaan Ade Armando yang mantan wartawan Koran Republika itu, tindakan penganiayaan hingga pascaevakuasi Ade Armando oleh pihak kepolisian.
Terlihat ada tindakan yang sistematis dan tersruktur dari para begundal.
Tidak hanya terhadap Ade Armando, kebrutalan para begundal juga menjalar ke pembakaran pos polisi Pejompongan dan aksi kekerasan fisik terhadap petugas keamanan.
Penganiayaan fisik juga menimpa enam personel polisi lalu lintas di Jalan Tol Dalam Kota, Senayan, Jakarta Pusat.
Salah seorang anggota Ditlantas Polda Metro Jaya AKP Rudi Wira bahkan mengalami luka yang cukup serius (Kompas.com, 13/04/2022).
Pengeroyok AKP Rudi Wira teridentifikasi sebagai kelompok non mahasiswa seperti halnya pelaku barbar terhadap Ade Armando dan Rudi berhasil diselamatkan dari aksi brutal berkat pertolongan para mahasiswa peserta demo.
Pengerahan massa dari kalangan pelajar dari Bekasi dan Tangerang serta pensuplai logistik demo untuk pendompleng hendaknya bisa diusut tuntas oleh aparat.
Aktor intelektual (gadungan) yang mendompleng demo, penganiaya Ade dan personel keamanan, pembakar pos polisi Pejompongan dan pensuplai logistik tidak boleh didiamkan oleh aparat.
Aparat harus tegas menghukum para begundal keji yang mengotori ketulusan perjuangan adik-adik mahasiswa.
Mensikapi ekses negatif dari aksi demo 11 April 2022, justru menjadi tanda tanya ketika Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polkam) Mahfud MD malah mengapresiasi jalannya unjuk rasa berlangsung dengan aman dan damai (Liputan6.com, 12 April 2022).
Yang menjadi pertanyaan saya, sudah jelas-jelas kermurnian aksi demo 11 April terkotori dengan “kematian” toleransi dan pamer kebiadaban terhadap Ade Armando, personel kepolisian dan pembakaran pos polisi Pejompongan, mengapa dianggap Mahfud MD sebagai unjuk rasa berlangsung aman dan damai?
Narasi aman dan damai dalam pandangan saya tentunya berjalan tanpa ada benturan fisik yang mengenaskan dan mempertontonkan kebiadaban terhadap sosok pengajar senior di UI yang dikenal kritis.
Memang sejuk dan kondusif jika merujuk pernyataan Mahfud MD sebelum aksi demo 11 April dihelat yang berharap para personel keamanan diwanti-wanti tidak boleh melakukan kekerasan, tidak membawa peluru tajam juga jangan sampai terpancing oleh provokasi (Kompas.com, 09/04/2022).
Menafikan atau malah menihilkan kejadian barbar yang menimpa penyuara kekritisan bahkan terhadap personel keamanan sekalipun justru menjadi ujian besar bagi demokrasi di masa sekarang dan nanti.
Kejadian biadab yang menimpa Ade Armando menjadi ujian bagi bangsa ini untuk pemupukkan nilai-nilai toleransi atau malah pembiaran terhadap tindakan-tindakan intoleransi yang berbungkus keyakinan sesat.
Ada yang salah dan “korslet” di sebagian anak bangsa kita, yang begitu sempit pemikirannya dan tidak mengedepankan nilai-nilai keluhuran budi pekerti.
Pemahaman sepotong dari tayangan youtube dianggap sebagai kebenaran yang mutlak dan pemikiran sepenggal dari pengkhotbah “unyu-unyu” dinilai sebagai doktrin yang harus diikuti.
Sementara pemikiran-pemikiran besar dari Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf, mendiang Romo Mangun Wijaya, Habib Luthfi, mendiang Gus Dur, Habib Luthfi, Muhammad Quraish Shihab, Ustadz Dasad Latif, mendiang Nurcholish Madjid, misalnya, tidak dianggap.
Dua kali gelaran Pemilihan Presiden di 2014 dan 2019 memang hingga sekarang membuat kutubisasi menjadi tidak terelakkan.