"Kalau ada yang mengeklaim bahwa jika puas maka ingin presidennya itu terus, itu klaim tidak berdasar. Karena ternyata warga bisa menghargai kinerja pemimpinnya, dan pada saat yang sama patuh pada konstitusi," ujar peneliti SMRC Deni Irvani dalam diskusi.
"Ada 82,5 persen pengguna media sosial menyatakan pemilu tetap harus 2024. Yang ingin diundur hanya 13 persen, sisanya tidak menjawab atau tidak tahu. Yang enggak punya media sosial juga sama," tambahnya.
Luhut ditantang jangan cuma klaim
Sejak 1 Januari 2022 hingga 16 Maret 2022, total hanya 98.595 percakapan tentang penundaan pemilu yang dapat dihimpun Drone Emprit.
Padahal, 1 akun di media sosial bisa melakukan lebih lebih dari 1 percakapan.
Temuan lain, perbincangan tentang penundaan pemilu malah baru marak setelah Cak Imin melontarkan klaim soal "big data" pada 23 Februari 2022. Pembicaraan itu pun didominasi penolakan wacana tersebut.
"Dari 1 Januari hingga 23 Februari, kecil sekali pembicaraannya. Padahal, 23 Februari itu Cak Imin sudah bilang ada 100 juta orang (mendukung pemilu ditunda), itu data dari mana?" kata Fahmi.
"Di Twitter, hanya 68.000-an dari 23.644 akun Twitter, baik (yang dioperasikan) manusia maupun bot. Tweet aslinya tidak sebanyak itu karena jumlah retweet juga sudah kita hitung. Sudah dimark-up pun susah dapat 100 juta, apalagi 110 juta," lanjutnya.
Menurut Fahmi, setidaknya ada 3 hal yang perlu dibuktikan Luhut soal klaim dukungan dari "big data" itu agar kebenarannya bisa diverifikasi oleh pihak lain, yaitu kata kunci, periode penarikan data, dan sumber data.
Luhut perlu menerangkan dari mana 110 juta dukungan itu berasal, apakah dari media sosial Twitter, Facebook, Instagram, YouTube, atau media sosial lain.
Semisal Twitter, perlu dijelaskan lebih rinci pula maksud 110 juta dukungan itu apakah berasal dari 110 juta akun atau 110 juta percakapan.
"Ketika ada klaim 110 juta, di Twitter itu tidak mungkin karena jumlah penggunanya saja hanya 18 juta," kata Fahmi.
Direktur IPI Burhanuddin Muhtadi menekankan bahwa lembaga-lembaga survei dan analisis data sudah berani buka-bukaan soal metode penelitian mereka.
Baca juga: Luhut soal Klaim Big Data Penundaan Pemilu: Kenapa Marah-marah? Ada yang Salah?
Luhut pun ditantang melakukan hal serupa untuk membuktikan klaimnya.
"Sains adalah metode. Bagaimana orang mengeklaim mereka menggunakan atau memiliki big data, dan yang diklaim itu mewakili publik, tanpa diketahui metodologinya?" ungkap Burhanuddin.
"Semena-mena mengatasnamakan rakyat. Rakyat dalam konteks demokrasi sangat penting nilai dan posisinya, kenapa mudah sekali diklaim, dibungkus dalam kata 110 juta dan semua dukung penundaan. Undang saja siapa data yang suplai data ke Pak Luhut," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.