JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Badan Anggaran (Banggar) Said Abdullah mengatakan, DPR telah menyepakati peningkatan utang pemerintah. Hal itu dilakukan karena kebutuhan pemerintah dalam penanganan pandemi.
"Kita sadar betul bahwa pelebaran defisit, pembiayaan utang yang tinggi itu, betul-betul karena kita butuh. Kondisi subjektif dan objektif mewajibkan hukumnya bagi pemerintah dan Banggar melakukan itu," kata Said, dalam rapat kerja Badan Anggaran DPR dengan pemerintah dan Bank Indonesia, Rabu (30/6/2021).
Baca juga: Potret Rasio Utang Pemerintah: Turun Era SBY, Naik Lagi di Era Jokowi
Ia menegaskan, peningkatan utang bukan itu berarti pemerintah dan DPR suka berutang.
Said menuturkan, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, batas atas angka utang yaitu sebesar 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"UU memberikan kesempatan kepada kita semua, pemerintah dan DPR untuk menaati itu, maksimal 60 persen dari PDB," ucapnya.
Menurut Said, utang pemerintah yang bertambah bertujuan untuk mewujudkan hukum tertinggi, yaitu keselamatan rakyat di tengah pandemi.
Perekonomian Indonesia mengalami keterpurukan akibat pandemi di mana kegiatan ekonomi sulit berjalan. Hal itu juga disadari Said menjadi satu kendala.
Padahal, menurut dia, jika tak ada pandemi keseimbangan primer Indonesia pada 2022 sudah positif.
"Namun justru karena wabah yang tidak bisa kita tolak, dan kita tidak tahu kapan akan pergi wabah satu ini," tutur dia.
Baca juga: Daftar 21 Negara Pemberi Utang Indonesia, Siapa Saja?
Oleh karena itu, Banggar dan pemerintah memiliki satu napas dalam meningkatkan utang atas nama keselamatan rakyat dari pandemi.
"Sehingga utang itu bukan semata-mata keinginan pemerintah. Itu juga tanggung jawab DPR," tegasnya.
Menurut Said, DPR juga harus bersuara terkait peningkatan utang pemerintah agar tak jadi polemik di masyarakat.
"Sebab kalau DPR tidak bersuara terhadap utang bagian tanggung jawab DPR, itu nantinya rakyat akan nanya, 'eh DPR ngapain aja ente di Senayan, tidur?'," tutur Said.
Sebelumnya, Said merespons peningkatan utang pemerintah yang belakangan ramai dibicarakan publik.
Ia mengatakan, meningkatnya utang pemerintah tidak perlu direspons secara berlebihan apalagi panik.
“Saya kira pemerintah di mana pun tidak akan mau terbelit utang dan mewariskan utang kepada generasi berikutnya hingga menjadi beban yang tidak tertanggungkan,” ujar Said, dikutip dari Tribunnews.com, Senin (28/6/2021).
Baca juga: Daftar 10 Negara dengan Utang Luar Negeri Terbesar, Indonesia Nomor Berapa?
Sebelumnya diberitakan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) khawatir soal kesanggupan pemerintah dalam melunasi utang plus bunga yang terus membengkak.
Kekhawatiran lainnya, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) juga terus meningkat.
Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengatakan, utang pemerintah semakin jor-joran akibat merebaknya pandemi virus corona (Covid-19).
Pertumbuhan utang dan biaya bunga yang ditanggung pemerintah ini sudah melampaui pertumbuhan PDB nasional.
”Ini memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah dalam membayar utang dan bunga utang,” ujar Agung dikutip dari pemberitaan Harian Kompas, Sabtu (26/6/2021).
Baca juga: Peringatan BPK: Kenaikan Utang Pemerintah Sudah Level Mengkhawatirkan
Sejumlah indikator menunjukkan tingginya risiko utang dan beban bunga utang pemerintah.
Rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan negara pada 2020 mencapai 19,06 persen.
Angka tersebut melampaui rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF) yang sebesar 7-10 persen dan standar International Debt Relief (IDR) sebesar 4,6-6,8 persen.
Adapun rasio utang terhadap penerimaan negara pada 2020 mencapai 369 persen, jauh di atas rekomendasi IMF yang sebesar 90-150 persen dan standar IDR sebesar 92-167 persen.
Selain itu, rasio pembayaran utang pokok dan bunga utang luar negeri (debt service ratio) terhadap penerimaan transaksi berjalan pemerintah pada tahun 2020 mencapai 46,77 persen.
Angka tersebut juga melampaui rekomendasi IMF yang sebesar 25-35 persen. Namun, nilainya masih dalam rentang standar IDR yang sebesar 28-63 persen.
”BPK merekomendasikan agar pemerintah mengendalikan pembayaran cicilan utang pokok dan bunga utang melalui pengendalian utang secara berhati-hati sembari. Ini dilakukan sembari berupaya meningkatkan penerimaan negara melalui reformasi perpajakan,” kata Agung.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.