KOMPAS.com - Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan besar Indonesia. Cerita-cerita pendek dan novel-novelnya telah menjadi monumen kejayaan sastra prosa Indonesia yang tak akan terhapuskan dari sejarah sastra Indonesia.
Apabila orang menulis atau membicarakan sejarah sastra Indonesia dengan mencoba menghapuskan nama Pramoedya dari sejarah itu, berarti ia adalah seorang pendusta. Saya menghormati rasa keadilan Pramoedya Ananta Toer. Tetapi saya tidak menyetujui ideologi dan cara yang ia pakai untuk memperjuangkan keadilan itu.
Saya lebih memilih cara-cara yang demokratis dan yang menghargai hak asasi manusia, yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 45. Begitulah pandangan almarhum W.S Rendra tentang sosok Pramoedya, seperti yang telah dimuat di Harian Kompas (14/8/1995).
Nama Pramoedya, atau yang biasa dikenal dengan Pram kini kembali bersinar. Pasalnya dua karya novelnya yang berjudul Perburuan dan Bumi Manusia diangkat ke layar lebar.
Keduanya serentak akan tayang di bioskop tanah air pada 15 Agustus 2019.
Sosok Pram dikenal fenomenal. Meski sempat menjadi tahanan politik dan ditahan di Pulau Buru, karya-karya Pram masih laris manis dibeli di toko buku dan terus dicetak ulang.
Baca juga: Pramoedya Ananta Toer dan Bumi Manusia, Perlawanan dari Dalam Penjara
Tidak cukup di situ, Pram sempat mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay pada kategori penulisan jurnalistik dan sastra.
Ia menjadi orang Indonesia kesepuluh yang menerima penghargaan Magsaysay, seperti yang pernah diberitakan Harian Kompas (20/7/1995).
Terpilihnya Pramoedya sebagai penerima penghargaan Ramon Magsaysay di bidang penulisan sastra dan jurnalistik, diumumkan Yayasan Penghargaan Ramon Magsaysay, Rabu (19/7/1995), di Manila, Filipina.
Dalam pemberitaan tersebut, Pramoedya akan menerima medali yang bergambarkan Presiden ketiga Filipina Ramon Magsaysay dan uang sejumlah 50.000 dollar AS yang akan diserahkan 31 Agustus di Manila.
Putra Indonesia penerima penghargaan Magsaysay sebelumnya adalah HB Jassin, Ali Sadikin, Mochtar Lubis, almarhum Soedjatmoko, Ny AH Nasution, Anton Sudjarwo, Dr Ben Mboi dan Nafsiah Mboi, serta Abdurrahman Wahid.
Namun tokoh sastra, semacam Muchtar Lubis, H.B. Jassin, Asrul Sani, Rendra, Taufik Ismail, Ikranagara da 26 pengarang lainnya melakukan protes terhadap keputusan Yayasan dan mendesaknya membatalkan keputusan tersebut.
Di balik sepak terjanya selama ini, Pramoedya yang pernah mendekam di penjara Pulau Buru tahun 1965-1975 ini, dinilai telah menghasilkan karya-karya unggul mengenai kebangkitan sejarah dan pengalaman modern masyarakat Indonesia.
Dalam setiap karya yang dihasilkan, Pram selalu memasukkan unsur kritikan. Salah satunya dalam Bumi Manusia. Pram mengkritik sekat-sekat yang menghalangi manusia akan kebebasannya menentukan nasibnya sendiri.
"Dia kan melihat bagaimana cintanya itu berhadapan dengan tembok-tembok pemisah yang dilihatkan lewat kolonialisme. Sebagai seorang pemuda yang jatuh cinta, dia berjuang meruntuhkan tembok-tembok itu," ucap Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid kepada Kompas.com beberapa waktu lalu.
Perasaan yang sama dirasakan tokoh-tokoh Pram lainnya. Mereka semua dipertemukan lewat kesamaan imajinasi akan hidup yang lebih baik dan adil. Jika Revolusi Perancis membuang seluruh tatanan kolonial, di Indonesia, kolonialisme meninggalkan warisan.
Warisan itu menjadi masalah bagi Indonesia hari ini. Mulai dari sistem hukum hingga rasisme.