JAKARTA, KOMPAS.com - Investigasi yang dilakukan polisi mengenai penyebab korban tewas saat kerusuhan 21-22 Mei 2019 di Jakarta maju satu langkah.
Polisi sudah mengantongi tipe proyektil yang bersarang di tubuh para korban. Sebanyak dua proyektil ditemukan dari korban tewas, Abdul Azis dan Harun Al Rasyd.
Sementara, sebuah proyektil lainnya diamankan polisi dari korban selamat dengan nama Zulkifli. Ia tertembak di bagian paha. Kini, Zulkifli sudah pulang ke rumah dan menjalani rawat jalan.
Secara keseluruhan, terdapat 9 korban tewas dari peristiwa tersebut.
Berikut fakta-fakta perihal temuan terbaru polisi mengenai proyektil tersebut:
Polisi mengungkapkan bahwa proyektil yang ditemukan dari korban kerusuhan 21-22 Mei 2019 di Jakarta terdiri dari kaliber 5,56 milimeter dan 9 milimeter.
"Dari hasil laboratorium forensik 3 proyektil yang didapat di tubuh dugaan adalah pelaku perusuh, itu kaliber 5,56 milimeter, dan kaliber 9 milimeter," ungkap Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo di Gedung Humas Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (19/6/2019).
Dedi menambahkan, kondisi proyektil dengan kaliber 9 milimeter ditemukan dalam kondisi pecah. Hal itu sedikit menghambat uji alur senjata yang dilakukan aparat.
"Namun demikian yang kaliber 9 milimeter itu tingkat kerusakan proyektilnya cukup parah karena pecah sehingga untuk uji alur senjata itu ada sedikit kendala," katanya.
Polisi masih mendalami pengguna dan jenis senjata yang digunakan untuk melepas peluru berkaliber 5,56 milimeter dan 9 milimeter saat kerusuhan.
"Yang 5,56 milimeter itu juga sudah diketahui untuk kalibernya. Cuma senjata yang digunakan masih didalami karena senjata ini kan sulit, siapa yang menggunakan senjata ini untuk menembakkan dengan menggunakan kaliber 5,56 dan 9 milimeter," ujar Dedi.
Dedi menuturkan peluru tersebut dapat berasal dari senjata standar yang digunakan aparat Kepolisian maupun TNI hingga senjata rakitan.
Ia mencontohkan seperti teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang menggunakan peluru standar tetapi dengan senjata rakitan.
"Contoh konflik di Papua, di Maluku, termasuk tersangka-tersangka teroris MIT. Itu kan dia mendapat peluru organik, cuma senjata yang digunakan itu sebagian besar senjata rakitan," tutur dia.
Selain itu, kesulitan lain adalah polisi juga harus menemukan pembanding senjatanya hingga mencari penembak.