Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pimpinan KPK: Rp 2.000 Triliun Bukan Kebocoran, melainkan Potensi Pendapatan

Kompas.com - 08/04/2019, 15:17 WIB
Dylan Aprialdo Rachman,
Sandro Gatra

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang mengklarifikasi pernyataan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto soal kebocoran anggaran.

Prabowo mengungkapkan bahwa dirinya selalu diejek oleh para elite karena mengatakan kebocoran anggaran negara mencapai Rp 1.000 triliun.

Namun, tiga hari yang lalu, lanjut Prabowo, KPK menyebut kebocoran anggaran mencapai Rp 2.000 triliun.

Hal itu diungkapkan Prabowo saat berpidato di kampanye rapat akbar di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta, Minggu (7/4/2019).

Baca juga: Merasa Diejek soal Data Kebocoran Anggaran, Prabowo Senang KPK Mengonfirmasi Datanya

Saut menjelaskan, jumlah Rp 2.000 triliun itu merupakan potensi pendapatan negara yang diutarakan Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan.

"Sebenarnya statement itu lebih banyak datang dari saya. Saya mengatakan (pendapatan) Indonesia bisa ngumpul sampai Rp 4.000 triliun. APBN kita sekarang kan Rp 2.400 triliun. Kami berdiskusi di banyak tempat kita bisa ngejar Rp 4.000 triliun. Bisa ngejar," kata Saut di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (8/4/2019).

Menurut dia, Rp 2.000 triliun itu bukan merupakan kebocoran anggaran, melainkan perkiraan potensi pendapatan negara yang bisa dimaksimalkan.

"Itu bukan soal kebocoran yang disampaikan. Itu adalah kita sebenarnya punya potensi banyak lagi," kata dia.

Baca juga: Prabowo: Saya Katakan Kebocoran Anggaran Rp 1.000 Triliun, Hitungan KPK Rp 2.000 Triliun

Oleh karena itu, dalam berbagai kesempatan, Saut menyampaikan harapannya bahwa Indonesia harus mampu memaksimalkan berbagai sumber pendapatan negara.

Untuk memaksimalkan potensi pendapatan, KPK telah berkoordinasi dengan berbagai pihak terkait, seperti pemerintah daerah, Direktorat Bea dan Cukai, hingga Direktorat Jenderal Pajak.

"Datang ke (Kementerian) Perhubungan, datang ke pertambangan dan seterusnya, masih banyak lagi. Jadi itu itu sebenarnya arti yang mungkin salah persepsi. Jadi bukan kehilangannya itu yang disebutkan," katanya.

Sebelumnya, Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengatakan, pihaknya tak memiliki kajian khusus yang menyebut kebocoran anggaran mencapai Rp 2.000 triliun.

"Enggak, enggak pernah kami mengkaji itu. Litbang (KPK) enggak pernah mengkaji khusus itu," kata Pahala kepada Kompas.com, Minggu (7/4/2019).

Baca juga: Maruf Amin: Prabowo Mengulang-ulang Supaya Orang Percaya Ada Kebocoran

Menurut Pahala, ribuan triliun itu hanya perkiraan potensi pendapatan negara. Salah satunya lewat pajak.

Pahala menjelaskan, rasio pajak (tax ratio) Indonesia terbilang masih rendah. Wajib pajak di Indonesia pun belum sepenuhnya patuh.

"Itu ngitungnya kira-kira begini, nih. Kan ada tax ratio, kan itu diambil dari GDP. Nah sekarang kan tax ratio kita sekitar 10 persen. Nah itu diandaikan, kalau kita benar-benar orang bayar pajak patuh semua gitu. Di negara-negara Skandinavia tax ratio bisa 30-40 persen dari GDP," kata dia.

Menurut Pahala, apabila Indonesia meningkatkan rasio pajak seperti negara-negara di kawasan Skandinavia, Indonesia bisa mendapat penerimaan pajak lebih besar lagi.

"Kalau kita bisa seperti negara-negara Skandinavia, pasti penerimaan pajak kita bisa 3-4 kali lipat lebih tinggi gitu karena penerimaan pajak kita kan sekitar Rp 1.000 triliun, berarti bisa jadi empat kali lipat. Itu andai-andai aja, kalau kayak Skandinavia, kita harus bisa sampai Rp 4.000 triliun, gitu lho," katanya.

Pahala memandang rasio pajak Indonesia saat ini memang masih cukup rendah. Dari contoh tadi, ia berharap Indonesia bisa menggenjot rasio pajaknya.

Meski demikian, KPK belum memiliki kajian seberapa besar rasio pajak Indonesia harus ditingkatkan.

"Jadi cuma mengandai-andaikan saja kalau kita sama dengan Skandinavia. Amerika (Serikat) aja enggak setinggi Skandinavia gitu ya. Saya cuma mau bilang yang 10 persen terlalu rendah. Tapi berapa yang benarnya enggak pernah kita assess. Berapa pastinya, kita belum tahu," papar Pahala.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com