KOMPAS. com – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama Dewan Pers, asosiasi pers, dan organisasi masyarakat sipil menginisiasi Komite Keselamatan Jurnalis.
Berdasarkan keterangan tertulis dari AJI, pertemuan itu terjadi pada Rabu (20/3/2019) lalu, dengan fokus untuk mencari mekanisme kolaborasi dalam penyelesaian kasus kekerasan jurnalis di Indonesia.
Selain itu juga dibicarakan perlunya dana taktis atau safety fund untuk penanganan kasus kekerasan jurnalis dan bagaimana pengelolaannya.
"Baru tahap awal. Pekan ini akan ada follow up untuk bahas lebih detail mekanisme kerjanya,” kata Ketua Umum AJI, Abdul Manan kepada Kompas.com, Minggu (24/3/2019) sore.
Pertemuan ini terselenggara atas keresahan banyaknya kekerasan yang diterima para awak jurnalis Indonesia, baik dalam bentuk fisik maupun nonfisik.
Misalnya perusakan alat dan penghapusan dokumen liputan, kriminalisasi, bahkan pelacakan informasi pribadi wartawan di ranah digital (doxing) yang diikuti intimidasi dan persekusi.
"Ini jadi tren yang cukup mengkhawatirkan di masa-masa mendatang dan akan menjadi salah satu fokus dari advokasi AJI," ujar Manan.
Baca juga: Kontras: Kekerasan terhadap Wartawan Tanda Terancamnya Demokrasi
Manan menceritakan beberapa kasus kekerasan yang dialami jurnalis beberapa waktu yang lalu. Misalnya persekusi online yang dialami wartawan Kumparan dan Detik.com. Kemudian, pelaporan pencemaran nama melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dialamatkan kepada wartawan Serat.id.
View this post on Instagram
Menurut Manan, komite ini akan beranggotakan berbagai pihak, mulai dari Dewan Pers, Safenet, (Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Amnesti International, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Federasi Serikat Pekerja Media Indonesia (FSPMI) serta Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI).
Adapun tujuan pembetukan komite ini, tidak lain untuk menuntaskan kasus kekerasan jurnalis, serta mencegah terjadinya kasus kekerasan jurnalis dan pekerja media terulang kembali.
"Advokasi terhadap kasus-kasus kekerasan seperti itu harus dilakukan untuk menghindari chilling efect terhadap jurnalis dan media. Jika kasus-kasus seperti itu terus berlangsung dan tak ada upaya menangkalnya, itu akan menjadi salah satu ancaman bagi kebebasan pers," ujar Manan.
"Sebab, tekanan semacam itu akan mendorong self censorship dan membuat jurnalis menghindari topik-topik yang sensitif seperti itu. Padahal, topik-topik seperti itu penting diketahui publik," kata wartawan Tempo ini.
Baca juga: AJI Kecam Penganiayaan terhadap Wartawan pada Malam Munajat 212
Saat ini, kerja jurnalistik sepernuhnya dilindungi oleh undang-undang, yakni Pasal 4 UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
"Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara," bunyi ayat (1).
"Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi," demikian bunyi ayat (3).
Pasal 19 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak Asasi Manusia juga menyebutkan hal yang serupa.
Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah.
Berdasarkan catatan Bidang Advokasi AJI, sepanjang 2009-2018, jumlah kekerasan tertinggi terjadi pada rentang tiga tahun terakhir, 2016,2017, dan 2018, masing-masing dengan jumlah 80, 60, 64 kejadian.
Pada tahun-tahun ini, terjadi jenis kekerasan baru yang dialami oleh para pekerja pers, yakni persekusi secara online.
"Persekusi ini merupakan fenomena cukup baru yang dihadapi jurnalis. Dalam kasus yang dicatat AJI pada tahun lalu, jurnalis menjadi korban persekusi karena terkait liputan yang berhubungan dengan kelompok intoleran," kata Manan.
Untuk kasus ini, pada 2018 terdapat tiga jurnalis yang mengalami persekusi secara online, mulai dari ancaman hingga pengungkapan identitas wartawan di media sosial atau doxing.
Reporters Without Borders atau Reporter Sans Frontières (RSF) menempatkan Indonesia di posisi 124 pada 2018 untuk tingkat kebebasan persnya.
Angka ini terbilang fluktuatif, sejak 2008 Indonesia pernah menempati peringkat 101-146 untuk indeks kebebasan pers dibandingkan dengan negara-negara lain di seluruh dunia.
Sementara itu, Freedom House mengklasifikasikan kebebasan pers sebuah negara berdasarkan tingkat kebebasan pers: free (bebas), partly free (bebas sebagian), not free (tidak bebas).
Dalam penilaian ini, Indonesia ada di kelas partly free bersama 58 negara lainnya. Sementara pers yang tergolong bebas terdapat di sebanyak 88 negara, dan 49 lainnya terklasifikasikan sebagai negara dengan indeks kebebasan pers yang tidak bebas.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.