JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Taufik Kurniawan tersenyum saat keluar dari ruang pemeriksaan di Lantai II Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jakarta, Jumat (2/11/2018).
Taufik yang mengenakan kacamata dan peci hitam itu terlihat santai meski telah mengenakan rompi tahanan oranye.
Sebelum menaiki mobil tahanan, Taufik menyampaikan tanggapan singkat kepada awak media.
"Secanggih-canggihnya rekayasa manusia, rekayasa milik Allah-lah yang paling sempurna. Itu dicerna sendiri, ya," kata Taufik.
Baca juga: KPK Persilakan Taufik Kurniawan Ungkap Dugaan Keterlibatan Pihak Lain
Taufik adalah pimpinan kedua DPR yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Tepat setahun sebelumnya, KPK menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP).
Meski sama-sama menjabat sebagai pimpinan Dewan, ada beberapa kesamaan dan perbedaan dalam perkara korupsi yang melibatkan politisi Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Golkar tersebut.
Ia diduga menerima fee sekitar Rp 3,65 miliar terkait pengurusan DAK tersebut.
Dalam pengesahan APBN Perubahan Tahun 2016, DAK untuk Kabupaten Kebumen sebesar Rp 93,37 miliar.
Menurut KPK, suap tersebut diberikan oleh Bupati Kebumen M Yahya Fuad. Saat baru dilantik sebagai bupati, Yahya diduga melakukan pendekatan kepada sejumlah pihak di DPR, termasuk Taufik.
Taufik memang merupakan anggota DPR dari daerah pemilihan Jawa Tengah VII yang mewakili daerah Kebumen, Banjarnegara dan Purbalingga.
Baca juga: KPK Ingatkan Anggota DPR Ambil Pelajaran dari Kasus Korupsi Taufik Kurniawan
Namun, KPK menduga, dalam kasus ini, Taufik turut menggunakan pengaruhnya sebagai pemegang jabatan tinggi di parlemen.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan, Taufik diduga tidak sekadar menggunakan posisinya sebagai penyelenggara negara dalam menerima suap, tetapi juga menggunakan pengaruhnya dalam posisi sebagai pimpinan DPR.
"Mengapa KPK mengenakan Pasal 12 huruf a atau huruf b UU Tipikor, karena yang bersangkutan telah menerima sesuatu akibat melakukan sesuatu. Menggerakan sesuatu tentu karena ada kemampuan atau sama dengan posisi (jabatan)," ujar Saut kepada Kompas.com, Minggu (4/11/2018).
Taufik merupakan Wakil Ketua DPR bidang ekonomi keuangan yang membawahi ruang lingkup tugas Komisi XI dan Badan Anggaran (Banggar) DPR.
Berbeda dengan Taufik, saat melakukan tindak pidana, Setya Novanto belum menjabat sebagai pimpinan DPR. Namun, dalam putusan majelis hakim, Novanto terbukti menggunakan pengaruhnya sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar.
Saat itu, perolehan kursi anggota DPR yang terbesar adalah Demokrat dan Partai Golkar.
Novanto berwenang untuk mengoordinasikan anggota Fraksi Golkar di setiap komisi dan alat kelengkapan Dewan.
Baca juga: PAN Evaluasi Posisi Taufik Kurniawan Sebagai Pimpinan DPR
Sebagai bukti, menurut hakim, Novanto berhasil meloloskan anggaran e-KTP sebesar Rp 2 triliun pada 2011. Padahal, dalam tahun sebelumnya, permintaan anggaran tidak disetujui DPR.
Dalam surat tuntutan, jaksa KPK juga menyebut Novanto sebagai seorang politisi yang punya pengaruh kuat dan seorang pelobi ulung.
Ada kesamaan lain antara Taufik dan Setya Novanto.
Keduanya dinilai sama-sama mengintervensi proses pengambilan kebijakan anggaran sebagai salah satu fungsi anggota legislatif.
KPK menduga Taufik mengintervensi proses pembahasan anggaran di Komisi XI selaku komisi keuangan dan Badan Anggaran DPR.
Taufik diduga berkomunikasi dengan pihak terkait di bawahnya untuk memuluskan permintaan Bupati Kebumen Yahya Fuad.
Baca juga: PAN Bahas Proses Pergantian Wakil Ketua DPR Pasca-penahanan Taufik Kurniawan
Awalnya, Yahya meminta DAK untuk Kebumen sebesar Rp 100 miliar. Menurut KPK, penerimaan fee oleh Taufik sebesar 5 persen dari nilai anggaran yang diperoleh.
Namun, hingga saat ini, KPK masih mendalami keterlibatan pihak lain dalam pembahasan anggaran.
Dalam kasus e-KTP, Setya Novanto menyatakan kesiapannya sejak awal untuk mendukung terlaksananya proyek e-KTP dan memastikan usulan anggaran Rp 5,9 triliun disetujui DPR.
Namun, Novanto meminta agar fee sebesar 5 persen bagi anggota DPR lebih dulu diberikan oleh para pengusaha yang ikut dalam proyek.
Jika permintaan tidak dipenuhi, Setya Novanto tidak akan mau membantu pengurusan anggaran.
Akhirnya, dalam kesepakatan, para pengusaha yang tergabung dalam konsorsium sepakat memberikan 5 persen kepada Setya Novanto dan anggota DPR lain.
Dalam persidangan, Novanto mengakui ada pimpinan Badan Anggaran DPR yang ikut menerima uang.