Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhamad Choirul Amri
Profesional IT & Aktivis Sosial

Profesional IT & Aktivis Sosial, Pendiri Perkumpulan Rumah Inspirasi Nusantara

Menimang Tokoh Nahdliyin sebagai Cawapres Jokowi

Kompas.com - 23/07/2018, 20:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SITUASI politik menjelang batas akhir pendaftaran pasangan calon presiden dan calon wakil presiden semakin menghangat. Menjelang akhir batas waktu 10 Agustus 2018, belum ada satu pun pasangan calon yang mendaftarkan diri.

Jokowi sebagai petahana juga belum mengumumkan calon pendamping dalam Pilpres tahun depan. Meskipun berbagai survei menempatkan Jokowi sebagai kandidat capres paling unggul, pemilihan cawapres menjadi sangat penting karena mencerminkan bagaimana Jokowi mengakomodasi kepentingan partai-partai koalisi.

Survei LSI Denny JA setelah Pilkada Serentak 2018 masih menempatkan Jokowi dengan elektabilitas tertinggi yaitu 49,3 persen, sedangkan gabungan elektabilitas capres lain hanya sebesar 45,2 persen. Survei tersebut juga mengungkapkan bahwa popularitas tagar #2019GantiPresiden naik dari 49,8 persen menjadi 54,4 persen.

Ini menunjukkan bahwa meskipun elektabilitas Jokowi berada di posisi tertinggi, tetap terdapat potensi ancaman jika seluruh kekuatan non-Jokowi bergabung. Pemilihan cawapres menjadi salah satu faktor kunci penentu kemenangan di Pilpres 2019.

Tidak mengherankan jika persaingan untuk menjadi cawapres Jokowi menjadi sangat keras. Ketum PKB Muhaimin Iskandar atau lebih dikenal sebagai Cak Imin, terbilang paling agresif dan tak malu-malu menawarkan diri.

Cak Imin bahkan menyebut posisi Jokowi akan “bahaya” jika tidak memilihnya sebagai cawapres. Nama-nama lain dari kalangan partai politik adalah Ketum PPP Romahurmuziy dan Ketum Golkar Airlangga Hartarto.

Selain tokoh-tokoh dari Ketum Partai, banyak nama dari kalangan profesional, birokrat dan ulama yang mengemuka sebagai kandidat cawapres Jokowi.

Setidaknya terdapat 9 nama yang mengemuka yaitu Mahfud MD, Sri Mulyani, Susi Pudjiastuti, pengusaha Chairul Tanjung, Ketua MUI Ma'ruf Amin, tokoh Muhammadiyah Din Syamsuddin, Gubernur NTB Tuan Guru Bajang (TGB), Kepala Staff Kepresidenan Moeldoko, dan Menko Polhukam Wiranto.

Dari berbagai nama tersebut, terdapat banyak tokoh yang sering diasosiasikan dekat atau mewakili golongan Islam. Cak Imin, Romy, Mahfud MD, Ma'ruf Amin, Din Syamsuddin, dan TGB adalah nama-nama yang dianggap dekat dengan kalangan Muslim.

Jika Cak Imin dan Romy mewakili partai Islam, maka Mahfud memiliki latar belakang intelektual–cendekiawan dan dekat dengan kaum Nahdliyin. TGB yang menjabat gubernur NTB selama 2 periode adalah Doktor Ilmu Tafsir Al Quran lulusan Al Azhar serta cucu pendiri Nahdhatul Wathan yang merupakan organisasi Islam terpandang di NTB.

Dari beberapa nama tersebut, empat orang di antaranya memiliki latar belakang Nahdliyin atau NU yaitu Cak Imin, Romy, Mahfud MD, dan Ma'ruf Amin.

Siapa pun cawapres yang dipilih Jokowi, maka hendaknya mempertimbangkan keterwakilan suara umat Islam. Hal ini sangat penting mengingat suasana politik akhir-akhir ini banyak diwarnai sentimen SARA dan politik identitas.

Ketika kita berbicara tentang umat Islam Indonesia, maka tidak dapat dilepaskan dari dua organisasi besar yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Komunitas Nahdliyin memiliki kaitan sangat erat dengan PKB dan PPP.

Meskipun PPP bukan “anak kandung” NU, tetapi banyak pengurus teras PPP adalah kaum Nahdliyin. Sedangkan Muhammadiyah yang secara formal tidak berpolitik sebenarnya memiliki keterkaitan historis dengan PAN karena Amin Rais sebagai pendiri adalah mantan Ketua PP Muhammadiyah.

Selain PKB, PPP, dan PAN, partai lain yang berbasis Islam adalah PKS.  Strategi memilih cawapres tidak dapat dilepaskan dari pencapaian historis Jokowi pada Pilpres 2014 di Jatim, Jateng dan Jabar.

Tiga provinsi tersebut menjadi sangat penting karena jumlah pemilihnya diperkirakan mencapai 92 juta atau sekitar 46,8 persen dari total pemilih (196,5 juta) pada 2019 nanti.

Presiden Joko Widodo memberikan sambutan saat menghadiri pengajian Alquran dan Haul di Pondok Pesantren An Najah, Gondang, Sragen, Jawa Tengah, Sabtu (14/7). Dalam kunjungan tersebut Presiden Joko Widodo menekankan kepada para santri dan santriwati untuk tetap menjaga kebhinekaan antar umat dan suku. ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho Presiden Joko Widodo memberikan sambutan saat menghadiri pengajian Alquran dan Haul di Pondok Pesantren An Najah, Gondang, Sragen, Jawa Tengah, Sabtu (14/7). Dalam kunjungan tersebut Presiden Joko Widodo menekankan kepada para santri dan santriwati untuk tetap menjaga kebhinekaan antar umat dan suku.

Peran Nahdliyin

Kemenangan Jokowi dalam Pilpres 2014 tidak dapat dilepaskan dari peran kaum Nahdliyin di Jatim dan Jateng dalam meraih simpati pemilih Muslim. Dari lima partai pendukung Jokowi di 2014, hanya PKB yang secara kultural memiliki kedekatan dengan pemilih Islam sedangkan sisanya adalah Partai nasionalis yaitu PDI Perjuangan, Nasdem, Hanura, dan PKPI.

Tanpa mengecilkan kontribusi partai–partai lain dalam koalisi tersebut, kemenangan di wilayah Jatim dan Jateng tentunya tidak dapat dilepaskan dari kombinasi mesin PDI Perjuangan di basis nasionalis serta NU dan PKB untuk menggarap pemilih Islam.

Prabowo unggul di Jawa Barat meskipun PDI Perjuangan memenangi Pileg di wilayah tersebut. Perlu dicatat, bahwa PPP dan PKB yang hanya berada di urutan 6 dan 7 pada Pileg 2014 di Jabar. Artinya kekuatan mesin NU di Jabar tidak sekuat di Jatim dan Jateng untuk memenangkan Jokowi di 2014.

Kembali ke kontestasi Pilpres 2019, Jokowi boleh berlega hati karena pemenang Pilkada Jabar yaitu pasangan Kang Emil–Uu’ diusung oleh PPP dan PKB yang sudah menyatakan mendukung koalisi Jokowi.

Kemenangan pasangan Ganjar–Yasin di Jateng juga tidak dapat dilepaskan dari kehadiran Taj Yasin yang merupakan putra Kyai kharismatik NU mbah Maimoen. Posisi Yasin sebagai Cawagub menjadi pertahanan kuat untuk melawan isu sentimen agama yang sering menerpa PDI Perjuangan.

Sedangkan di Jatim, peranan Muslimat NU yang merupakan organisasi kaum wanita Nahdliyin turut berperan dominan dalam kemenangan Khofifah – Emil.

Jika Jokowi ingin memenangkan suara pemilih Islam di Jawa, maka memilih cawapres dari kalangan Nahdliyin menjadi opsi yang benar–benar harus dipertimbangkan. Media non-mainstream banyak didominasi narasi bahwa pemerintahan Jokowi kurang mengakomodasi kepentingan umat Islam.

Kecenderungan ini perlu mendapatkan perhatian serius, karena Jokowi adalah kader PDI Perjuangan yang dianggap lebih mewakili golongan nasionalis daripada golongan Islam.

Meskipun sebenarnya keislaman dan kebangsaan merupakan dua hal yang tidak perlu dipertentangkan, persepsi negatif tersebut terlanjur berkembang di sebagian golongan masyarakat terutama pada basis masa partai–partai oposisi.

Kemajuan teknologi informasi dan media sosial juga semakin memudahkan fabrikasi isu-isu negatif yang disebarkan baik untuk kepentingan politik maupun ekonomi. Membendung arus berita negatif di media sosial bukanlah pekerjaan mudah, namun jika Jokowi memilih cawapres dari tokoh yang dekat dengan umat Islam maka pekerjaan tersebut menjadi jauh lebih ringan.

Memilih cawapres dari tokoh yang dekat dengan kalangan Muslim berarti memberikan ruang dialog terhadap mayoritas pemilih di Indonesia. Katup komunikasi yang tersumbat dapat mengalir lebih lancar,sehingga peristiwa demonstrasi berlatar belakang sentimen agama tidak perlu terjadi lagi.

Tersedianya kanal komunikasi dan ruang dialog merupakan pra-kondisi untuk menjamin stabilitas sosial politik pada periode kedua pemerintahan jika Jokowi memenangi Pilpres 2019. Stabilitas tersebut sangat dibutuhkan agar Jokowi dapat bekerja dengan tenang pada periode 2019 – 2024.

Dengan strategi tersebut, maka kegaduhan dan polarisasi masyarakat dalam Pilpres 2019 dapat dihindari. Kerukunan dan keutuhan sesama anak bangsa terlalu berharga jika terpecah belah oleh isu–isu SARA selama kampanye.

Proses kontestasi Pilpres akan menjadi lebih sehat, di mana paslon yang berkompetisi akan mengutamakan adu program, gagasan, dan rekam jejak daripada sentimen SARA.

Kaum Nahdliyin merupakan bagian dari arus utama corak umat Islam di Indonesia. Kontribusi NU dalam perjuangan kemerdekaan dan keutuhan NKRI juga tidak perlu diragukan lagi.

Fatwa Jihad yang dikeluarkan oleh KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 merupakan salah satu faktor dominan yang menggerakkan umat Islam untuk melawan agresi militer Belanda.

Kyai Hasyim mengeluarkan fatwa tersebut setelah Presiden Soekarno mengirimkan utusan ke Pesantren Tebuireng untuk meminta petunjuk dan dukungan. Keterkaitan emosi antara PDI Perjuangan sebagai pengusung Jokowi dan NU sebagai wadah kaum Nahdliyin sebenarnya sudah tidak perlu diragukan lagi.

Mengingat banyaknya alternatif tokoh dari kalangan Nahdliyin, siapa yang sebaiknya dipilih untuk mendampingi Jokowi?

Tokoh tersebut sebaiknya adalah pribadi yang dapat diterima semua kalangan, memiliki rekam jejak tidak tercela, tidak pernah tersangkut isu korupsi, dan memilki kapasitas intelektual yang tinggi.

Pilihlah seseorang yang dapat mengayomi berbagai kelompok baik golongan tradisional, moderat, intelektual, maupun kelompok garis keras. (Muhamad Choirul Amri, Profesional IT & Aktivis Sosial, Pendiri Perkumpulan Rumah Inspirasi Nusantara)

 

Catatan: Ilustrasi utama dalam artikel ini merupakan artwork karya Hari Prast berjudul "Jokowi di Bali", karya tersebut selengkapnya bisa dilihat di sini. 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gus Muhdlor Kirim Surat Absen Pemeriksaan KPK, tetapi Tak Ada Alasan Ketidakhadiran

Gus Muhdlor Kirim Surat Absen Pemeriksaan KPK, tetapi Tak Ada Alasan Ketidakhadiran

Nasional
PPP Minta MK Beri Kebijakan Khusus agar Masuk DPR Meski Tak Lolos Ambang Batas 4 Persen

PPP Minta MK Beri Kebijakan Khusus agar Masuk DPR Meski Tak Lolos Ambang Batas 4 Persen

Nasional
Sidang Sengketa Pileg Kalteng Berlangsung Kilat, Pemohon Dianggap Tak Serius

Sidang Sengketa Pileg Kalteng Berlangsung Kilat, Pemohon Dianggap Tak Serius

Nasional
Pemerintahan Baru dan Tantangan Transformasi Intelijen Negara

Pemerintahan Baru dan Tantangan Transformasi Intelijen Negara

Nasional
Tegur Pemohon Telat Datang Sidang, Hakim Saldi: Kalau Terlambat Terus, 'Push Up'

Tegur Pemohon Telat Datang Sidang, Hakim Saldi: Kalau Terlambat Terus, "Push Up"

Nasional
KPK Sebut Keluarga SYL Sangat Mungkin Jadi Tersangka TPPU Pasif

KPK Sebut Keluarga SYL Sangat Mungkin Jadi Tersangka TPPU Pasif

Nasional
Timnas Kalah Lawan Irak, Jokowi: Capaian hingga Semifinal Layak Diapresiasi

Timnas Kalah Lawan Irak, Jokowi: Capaian hingga Semifinal Layak Diapresiasi

Nasional
Kunker ke Sumba Timur, Mensos Risma Serahkan Bansos untuk ODGJ hingga Penyandang Disabilitas

Kunker ke Sumba Timur, Mensos Risma Serahkan Bansos untuk ODGJ hingga Penyandang Disabilitas

Nasional
KPK Kembali Panggil Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

KPK Kembali Panggil Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

Nasional
Teguran Hakim MK untuk KPU yang Dianggap Tak Serius

Teguran Hakim MK untuk KPU yang Dianggap Tak Serius

Nasional
Kuda-kuda Nurul Ghufron Hadapi Sidang Etik Dewas KPK

Kuda-kuda Nurul Ghufron Hadapi Sidang Etik Dewas KPK

Nasional
Laba Bersih Antam Triwulan I-2024 Rp 210,59 Miliar 

Laba Bersih Antam Triwulan I-2024 Rp 210,59 Miliar 

Nasional
Jokowi yang Dianggap Tembok Besar Penghalang PDI-P dan Gerindra

Jokowi yang Dianggap Tembok Besar Penghalang PDI-P dan Gerindra

Nasional
Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo', Politikus PDI-P: Biasanya Dikucilkan

Sebut Jokowi Kader "Mbalelo", Politikus PDI-P: Biasanya Dikucilkan

Nasional
[POPULER NASIONAL] PDI-P Harap Putusan PTUN Buat Prabowo-Gibran Tak Bisa Dilantik | Menteri 'Triumvirat' Prabowo Diprediksi Bukan dari Parpol

[POPULER NASIONAL] PDI-P Harap Putusan PTUN Buat Prabowo-Gibran Tak Bisa Dilantik | Menteri "Triumvirat" Prabowo Diprediksi Bukan dari Parpol

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com