JAKARTA, KOMPAS.com - Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan tampaknya belum bisa menerima kenyataan bahwa dua kadernya yang merupakan kepala daerah, dijadikan tersangka karena dugaan korupsi. Politisi PDI Perjuangan malah menuduh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersikap politis.
Hal itu dilontarkan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, menanggapi penetapan tersangka dan penahanan Bupati Tulungagung Syahri Mulyo dan Wali Kota Blitar Muhammad Samanhudi Anwar.
Hal itu terbukti dari elektabilitas Samanhudi di Pilkada Blitar yang mencapai 92 persen.
Sementara itu, sebagai Calon Bupati Tulungagung petahana, Syahri memiliki elektabilitas sampai 63 persen.
"Ya, kami bela kedua kader, mereka mendapat legitimasi kuat. Kalau pemberantasan tanpa upaya pencegahan, dilakukan dengan cara seperti ini, kami khawatir akan terjadi benturan di rakyat," kata Hasto saat ditemui di Stasiun Pasar Senen, Jakarta, Selasa (12/6/2018).
KPK dituduh politis
Tak berapa lama setelah KPK menggelar operasi tangkap tangan, Hasto menyebut adanya dugaan kepentingan politik dalam kegiatan penindakan KPK kali ini.
Hasto pun mengungkit sejumlah kejadian di masa lalu untuk mendukung dugaannya itu. Kesan tersebut, menurut Hasto, muncul karena disebabkan adanya oknum KPK yang tidak bisa melepaskan diri dari kepentingan di luar pemberantasan korupsi di masa lalu.
Baca juga: Wali Kota Blitar Diduga Terima Rp 1,5 Miliar dari Ijon Proyek Sekolah
Ia mencontohkan peristiwa pencoretan bakal calon menteri di awal kepemimpinan Jokowi yang dilakukan tidak sesuai prosedur. Demikian pula saat surat perintah penyidikan mantan Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum bocor ke publik.
"Sekiranya yang dilakukan KPK sudah sesuai prosedur, tidak ada kepentingan lain kecuali niat mulia untuk memberantas korupsi tanpa kepentingan demi agenda tertentu, maka banyaknya pejabat daerah yang terkena OTT tidak hanya membuat pemerintahan daerah pincang," kata Hasto.
Tunggu pengadilan
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang membantah anggapan bahwa ada unsur politis dalam operasi tangkap tangan terhadap Wali Kota Blitar dan Bupati Tulungagung Syahri Mulyo.
Menurut Saut, benar atau tidak penangkapan dan penetapan tersangka itu tidak dapat ditentukan melalui opini. Menurut mantan staf ahli Kepala Badan Intelijen Negara itu, apa yang dilakukan KPK sebaiknya dibuktikan melalui pengadilan.
"Banyak instrumen, apakah prapradilan, banding, dan lainnya yang diatur. Jadi debat tentang kerja-kerja KPK itu akan lebih elegan bila di pengadilan dilakukannya," ujar Saut saat dikonfirmasi melalui pesan singkat.
Baca juga: KPK Tetapkan Bupati Tulungagung dan Wali Kota Blitar sebagai Tersangka
Sementara itu, Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti menilai, terjeratnya para kepala daerah menunjukkan adanya masalah dalam rekrutmen di internal parpol.
Menurut Ray, partai politik sebaiknya melakukan introspeksi terkait rentetan penangkapan kepala daerah oleh KPK. Hal itu dinilai lebih bijak ketimbang membuat opini dan justru menyalahkan KPK.
Sebelumnya, Bupati Tulungagung Syahri Mulyo dan Wali Kota Blitar Muhammad Samanhudi Anwar telah ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait sejumlah proyek di dua wilayah tersebut.
Dalam konstruksi perkara, keduanya terlibat dalam perkara yang berbeda dengan satu terduga pemberi hadiah atau janji, yaitu Susilo Prabowo.
Baca juga: PDI-P Duga OTT KPK di Tulungagung dan Blitar Politis
Susilo merupakan pihak kontraktor yang diduga memberi hadiah atau janji kepada keduanya terkait sejumlah proyek di dua daerah tersebut.
Di Tulungagung, Susilo diduga memberikan hadiah atau janji sebesar Rp 1 miliar kepada Syahri melalui pihak swasta Agung Prayitno.
Diduga pemberian tersebut terkait fee proyek-proyek pembangunan infrastruktur peningkatan jalan pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Tulungagung.
Sementara itu, di Blitar, KPK menduga Samanhudi juga menerima pemberian dari Susilo melalui pihak swasta bernama Bambang Purnomo sekitar Rp 1,5 miliar terkait ijon proyek-proyek pembangunan sekolah lanjutan pertama di Blitar dengan nilai kontrak Rp 23 miliar.