JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas) Perempuan Indriyati Suparno mengatakan, jumlah kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan semakin meningkat.
Kebijakan tersebut diterbitkan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Namun demikian, dia menyebut, sebagian besar kebijakan yang diskriminatif dikeluarkan pemerintah daerah.
Sejak tahun 2009 hingga 2016, Komnas Perempuan menemukan setidaknya 421 kebijakan pemerintah daerah yang diskriminatif terhadap perempuan.
Menurut Indriyati, trennya pun cenderung meningkat setiap tahun. Tahun lalu, jumlah kebijakan yang dianggap diskriminatif bertambah menjadi 460. Artinya ada 39 kebijakan baru.
Baca juga: Komnas Perempuan Soroti Impunitas sebagai Penyebab Konflik Baru
Kian meningkatnya kebijakan diskriminatif itu, lantaran kebijakan yang lama tak bisa dibatalkan.
"(Terus) bertambah (setiap tahun), karena (kebijakan) yang lama tidak bisa dibatalkan," ujar Indriyati kepada wartawan di Jakarta, Rabu (23/5/2018).
Indriyati menerangkan, sebelumnya ada kewenangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk bisa membatalkan kebijakan yang sifatnya diskriminatif.
Namun, belakangan kewenangan itu tak ada lagi. Kini, Kemendagri hanya berwenang mengevaluasi kebijakan yang terindikasi rentan diskriminatif.
Kebijakan diskriminatif bisa dibatalkan melalui gugatan ke Mahkamah Agung (MA) atau tinjauan yudisial (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hal-hal tersebut bisa diajukan masyarakat.
Terkait jenis kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan, Indriyati menyatakan jenisnya beragam. Namun, sebagian berkaitan dengan moralitas tubuh perempuan dan batasan seperti misalnya larangan keluar malam atau pembatasan jam malam bagi perempuan.
Soal daerah yang kerap menerbitkan kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan, menurut Indriyati, biasanya daerah-daerah yang rentan konflik. Termasuk daerah yang dulunya adalah daerah operasi militer.
"Kemudian daerah-daerah yang (berdasarkan) pemantauan kami (adalah) daerah yang rentan konflik, seperti konflik agama, atau yang intoleransinya kuat," ujar Indriyati.