Para Founding Father kita, mulai dari Soekarno, Hatta, Syahrir, Soepomo, Moh. Yamin, Agus Salim, bahkan Tan Malaka, dan lain-lain, berjibaku secara intelektual untuk melahirkan garisan ideologis yang "pas" dan "pantas" untuk Indonesia waktu itu, baik pada masa pra kemerdekaan maupun beberapa waktu setelah deklarasi kemerdekaaan Indonesia.
Selain bersaing dalam memberikan landasan ideal untuk ideologi Indonesia yang baru merdeka, mereka juga saling mencarikan landasan empirik dan historis bahwa sebenarnya demokrasi telah berlangsung lama di Indonesia jauh hari sebelum istilah demokrasi itu lahir.
Salah satunya menurut pandangan Hatta, misalnya. Hatta menyatakan, ada tiga fakta yang mengindikasikan bahwa demokrasi telah berlangsung lama di Indonesia jauh hari sebelum kemerdekaan.
Pertama adalah adanya tradisi "rembuk desa" yang sudah berlangsung sedari dulu di banyak daerah di Indonesia dimana keterlibatan langsung masyarakat desa sangat berpengaruh dalam menentukan arah kebijakan sebuah desa.
Kedua, kedatangan Islam ke nusantara juga telah memberi cara pandang baru bagi masyarakat nusantara dalam mengidentifikasi diri terhadap sistem yang lebih luas (sistem sosial, ekonomi, politik, dan lainnya). Menurut Islam, semua manusia sama di hadapan tuhan, yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaan masing-masing manusia.
Di satu sisi, cara pandang Islam ini sangat berpengaruh terhadap masayarakat Hindia Belanda waktu itu di mana sekat-sekat sosial ekonomi tidak lagi membedakan status seseorang di dalam masyarakat.
Di sisi lain, pandangan ini juga sangat berjasa dalam menghapus sistem feodalisme eksploitatif yang sudah berlangsung lama di hampir semua dataran Nusantara karena setiap masyarakat akhirnya merasa berkedudukan sama dalam tatanan sosial politik.
Serta yang ketiga, menurut Hatta, adalah pengaruh paham komunisme. Terlepas seperti apa cara pandang kita sekarang terhadap paham kiri ini, bagaimanapun komunisme juga telah memberi landasan berpikir kritis bagi masyarakat Indonesia yang terjajah waktu itu untuk terus menyuarakan kemerdekaan dan menyuarakan hak-hak politik ekonomi kepada pemerintahan kolonial.
Paham ini juga memberi cara pandang kritis pada masyarakat pribumi, terutama intelektual-intelektual muda pencetus gerakan kemerdekaan, dalam menilai bahwa kolonialisme-imprealisme adalah anak kandung dari kapitalisme.
Jika dilihat dialektika perdebatan menjelang dan setelah proklamasi kemerdekaan, hampir semua anggota BPUPK dan PPKI sepakat bahwa tatanan demokrasi yang ingin ditegakan di Indonesia bukanlah tatanan demokrasi yang memprioritaskan individualisme sebagaimana yang dianut oleh negara-negara liberal, melainkan bukan tatanan yang menghancurkan hak-hak individu atas nama kolektifitas (negara) sebagaimana yang di anut oleh negara-negara berhaluan kiri.
Dalam perjalanannya sampai saat ini, tarik ulur antara indiviualisme dan kolektivisme mengejawantah ke dalam setiap fenomena demokrasi Indonesia.
Ekonomi rente bertahan sebagai bagian dari eksistensi politik kolektif penguasa di satu sisi dan berlansungnya aglomerasi kapital di tangan-tangan segelintir konglomerasi menjadi indikasi kehadiran paham indiviualisme di sisi yang lain.
Dan, semua itu atas nama rakyat, baik rakyat yang mendapat akses dan priveledge untuk mengakumulasi modal sebanyak yang mereka bisa, maupun rakyat yang hanya punya hak mencoblos, kemudian terlupakan.
Terbukti sampai hari ini bahwa demokrasi prosedural yang berkembang di tanah Ibu Pertiwi adalah demokrasi yang tumbuh, hidup, serta berkembang biak untuk demokrasi itu sendiri, bukan untuk para pihak yang selalu kecewa atas apapun yang dicoblosnya di dalam bilik suara.
Jika demikian, jika demokrasi hanya berhenti untuk demokrasi, maka Indonesia berhenti di sila kelima Pancasila. Ini justru menjadi pertanda bahaya bagi negeri ini karena Founding Fathers kita telah menetapkan keadilan sosial di sila kelima, setelah sila keempat yang berbicara tentang demokrasi.
Oleh karena itu, sila kelima tersebut harus menjadi agenda utama kita semua. Demokrasi harus kita dorong untuk menopang lahirnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.