“ISLAM” dan “Ternate”. Dua kata ini menjadi semacam kata kunci untuk mengawali tulisan saya tentang budaya demokrasi dalam tradisi politik Islam Ternate.
Yang ingin coba dilihat melalui tulisan ini adalah bagaimana potret politik Islam di Ternate jika diletakkan dalam kerangka demokrasi, yang kini banyak dianggap sebagai salah satu sistem pemerintahan yang baik (good governance).
Pada dasarnya, kata “Islam” dan “Ternate” tentu saja merujuk pada dua makna yang berbeda: yang pertama, merujuk pada sebuah tatanan dengan sekumpulan nilai yang diyakini oleh pemeluknya sebagai way of life.
Sementara yang kedua, Ternate, berarti sebuah komunitas di wilayah tertentu, di mana kita berada di dalamnya. Karenanya, yang disebut sebagai masyarakat Ternate adalah mereka yang menjadi bagian dari komunitas di wilayah dimaksud.
Dalam perkembangannya, Islam dan Ternate menjadi dua kata yang sering harus berjalan beriringan; Islam menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Ternate, sebaliknya masyarakat Ternate juga menjadi sangat identik dengan Islam, sehingga nilai-nilai yang diproduksi oleh Islam niscaya dengan sendirinya banyak melandasi perumusan nilai-nilai kehidupan dan perilaku masyarakat Ternate.
Tak terkecuali dalam mengekspresikan gagasan-gagasan tentang politik, seperti konsep kekuasaan, penguasa atau sultan, hubungan penguasa dengan rakyat, serta hal-hal lain yang berada dalam ranah politik.
Tentang konsep kekuasaan misalnya, dalam tradisi politik Ternate, berkembang ajaran bahwa penguasa memerintah berdasarkan mandat dari Tuhan, dan bukan dari rakyat.
Jika ditelusuri, ajaran ini, antara lain, pernah berkembang dalam tradisi politik di zaman dinasti Umayyah dan Abbasyiah, di mana penguasa dianggap sebagai “bayangan Tuhan di muka bumi” (zillullah fil Ard).
Rorasa
Dalam hal ini, bangsa Ternate menjadikan Islam historis sebagai dasar perumusan etik bagi perilaku politik para penguasa di kerajaan. Gambaran tentang tesis tersebut misalnya tampak dalam sastra lisan Ternate semisal Rorasa (Bobaso se Rasai).
Dalam Rorasa perumusan Islam sebagai basis etika politik terlihat dengan jelas dan mengemuka. Rorasa jelas mendeskripsikan pengadopsian gelar-gelar politik serupa zaman dinasti Umayyah dan Abbasyiah, semisal "Sailillah Suba Jou Kolano Lamo-Lamo, Kahlifah magori-gori.,
“Engkau Khalifahturrasyid dan Tubaddilur Rasul kau pegang takbir perintah amar ma’aruf dan nahi mungkar, wayahkunul adilina bainal Rijali wan nisaa’i. Sailillah sembah Yang Dipertuan Agung, khalifah yang utama.” Demikian salah satu baitnya.
Oleh karenanya, untuk melihat gambaran tentang tradisi politik Islam Ternate ini, kita bisa melacaknya, antara lain, melalui berbagai pemikiran, tradisi politik dan kekuasaan yang pernah ada dalam khazanah Islam klasik, meskipun tampaknya periode yang dirujuk lebih pada masa dunia Muslim abad pertengahan —di mana unsur Persia banyak berpengaruh di dalamnya— yang oleh beberapa kalangan dianggap sebagai tidak mengakar baik dalam ajaran-ajaran al-Quran.
Sultan
Dalam konteks ini, sultan atau penguasa memang merupakan figur dan lembaga yang terpenting. Sultan dianggap sebagai orang yang mulia dan mempunyai berbagai kelebihan. Posisi sultan adalah setingkat dengan Nabi, dan sebagai pengganti Allah di muka bumi.