JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Satuan Tugas sapu bersih pungutan liar Komjen Pol Dwi Priyatno mengatakan, sektor pelayanan publik masih menjadi lahan basah untuk praktik pungli.
Dari sekian banyak kasus pungli yang ditangani satuan tugas, mayoritas masyarakat mengadukan proses pelayanan publik seperti perijinan dan pengurusan surat-surat.
"Berkaitan pelayanan publik paling tinggi, 36 persen kalau tidak salah," ujar Dwi di kawasan car free day Senayan, Jakarta, Minggu (17/9/2017).
Pelayanan tersebut meliputi pembuatan surat izin mengemudi, surat tanda nomor kendaraan, pembuatan paspor, di jembatan timbang, dan sebagainya.
Di samping itu, sektor kedua yang rawan pungli yakni di bidang penegakan hukum sebesar 20 persen.
Baca: Sosialisasi Saber Pungli Libatkan YouTuber dan Pegiat Media Sosial
Misalnya, oknum polisi memeras atau disuap untuk mengamankan perkara. Selain itu, yang masih banyak terjadi yaitu kesepakatan "damai" saat ditilang.
"Kalau Anda ditilang polisi, minta tilangnya. Karena uang itu nanti masuk ke negara, penerimaan negara bukan pajak," kata Dwi.
Setelah itu, sektor pendidikan juga banyak diadukan masyarakat karena adanya pungutan liar, yakni sebesar 18 persen. Banyak penarikan uang yang diatasnamakan sumbangan, namun alokasinya tidak jelas ke mana. Selama 10 bulan terbentuk, saber pungli telah melakukan operasi tangkap tangan sebanyak 1.002 kali.
"Sampai sekarang ada Rp 319 miliar yang kita sita dari OTT. Yang paling besar dari OTT di Kaltim berkaitan dengan pelayanan tenaga kerja bongkat muat," kata Dwi.
Baca: Pungli Penerimaan Siswa, Kepala Sekolah di Makassar Divonis 1 Tahun Bui
Dalam kasus itu, mulanya polisi menyita Rp 6 juta. Namun, setelah pengembangan perkara, diketahui praktik dilakukan sudah cukup lama sehingga disita hingga Rp 6 miliar.
Di samping itu, pelaku juga dikenakan pasal pencucian uang. Tak bisa dipungkiri, di sejumlah daerah, pungli sudah membudaya.
"Memang masih ada kendala di daerah yang perlu kesepakatan supaya tidak ada pungutan," kata Dwi.