JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Agung Muhammad Prasetyo menegaskan bahwa penyidik mengusut dugaan korupsi dalam pembayaran restitusi PT Mobile 8, bukan soal restitusi pajaknya.
Dengan demikian, kasus tersebut merupakan kewenangan penyidik Kejaksaan untuk menanganinya.
"Di sini saya tekankan bahwa Kejaksaan tidak menangani masalah pajak. Pajak urusan Ditjen Pajak. Yang ditangani Kejagung masalah korupsinya," ujar Prasetyo, di Kompleks Mabes Polri, Jakarta, Kamis (6/7/2017).
Prasetyo mengatakan, dari hasil audit Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), terdapat kerugian negara dalam pembayaran restitusi tersebut.
Dengan demikian, ada unsur pidana di dalamnya yang harus diusut tuntas aparat penegak hukum.
Baca: Pengacara Hary Tanoe: Sesudah Pilkada DKI Tiba-tiba Kok Kasusnya Dibuka Lagi
"Kami sangat tahu pajak bukan kewenangan kami, tapi menangani kasus korupsinya. Ada korupsi di sana," kata Prasetyo.
Sebelumnya, pengacara CEO MNC Group Hary Tanoesoedibjo, Hotman Paris menganggap bahwa Kejaksaan Agung tidak berwenang menangani kasus yang menyeret Mobile 8.
Apalagi, kasus itu sudah pernah dibawa ke praperadilan dan Kejaksaan Agung kalah.
Setelah itu, kejaksaan membuka lagi penyidikan baru dengan menerbitkan surat perintah penyidikan dalam kasus yang sama.
"Seribu kali buktipun tetap ini kasus restitusi. Sementara menurut pengadilan, kewenangan ppns untuk menangani restitusi pajak. Undang-undangnya ada," kata Hotman.
Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung menemukan transaksi fiktif antara Mobile 8 dan PT Jaya Nusantara pada rentang 2007-2009.
Baca: Kasus Mobile 8, Hary Tanoe Diperiksa Penyidik Kejagung
Saat itu, PT Mobile 8 mengerjakan proyek pengadaan ponsel berikut pulsa dengan nilai transaksi Rp 80 miliar.
PT Jaya Nusantara Komunikasi ditunjuk sebagai distributor pengadaan. Namun, perusahaan tersebut ternyata tak mampu membeli barang dalam jumlah itu.
Akhirnya, transaksi pun direkayasa seolah-olah terjadi perdagangan dengan membuatkan invoice sebagai fakturnya.
Pada pertengahan 2008, PT Djaya Nusantara Komunikasi menerima faktur pajak dari PT Mobile 8 dengan total nilai sekitar Rp 114 miliar.
Faktur pajak itu diterbitkan agar seolah-olah terjadi transaksi pada dua perusahaan.
Faktur pajak itu kemudian digunakan PT Mobile 8 untuk mengajukan kelebihan pembayaran (restitusi pajak) kepada negara melalui KPP di Surabaya agar perusahaannya masuk bursa Jakarta pada 2009.
PT Mobile 8 akhirnya menerima pembayaran restitusi meski tidak berhak karena tidak ada transaksi.