Hari ini, Selasa tanggal 30 Mei 2017 adalah Hari Perayaan Pe Cun; dalam penanggalan Lunar adalah tanggal 5 bulan 5, yang disebut dengan Duan Wu Jie. Jika terdengar asing, Pe Cun ataupun Duan Wu Jie, mungkin lebih akrab dengan Hari Raya Bak Cang atau Lomba Perahu Naga (Dragon Boat Festival).
Ingatan melayang ke masa kecil di Semarang dulu…
Papa biasa akan mengumumkan kapan akan ada sembahyang apa, entah itu sembahyang Bak Cang, sembahyang ronde, sembahyang meja dua, sembahyang ceng beng, dsb. Salah satu yang paling kami nantikan adalah sembahyang Bak Cang.
Beberapa hari sebelumnya, biasa di Pasar Gang Baru akan mulai kelihatan di sana sini penjualan bak cang. Bergelantungan di kios-kios di sepanjang Gang Baru itu berbagai harga, berbagai rasa dan berbagai pembuat mempromosikan bak cang-nya yang paling lezat.
Kami biasa membeli yang standar saja, tak lupa kicang juga kami beli. Di keluarga kami yang sudah bergenerasi lahir di Indonesia, sudah tidak bisa lagi membuat sendiri bak cang ini. Tradisi yang makin luntur apalagi di masa opresif waktu itu. Pada saat yang sama, kelunturan itu yang harus terus dijaga supaya tidak hilang sama sekali.
Beda bak cang dan kicang bisa dilihat dari buntalan daun bambunya. Kalau bak cang buntalan daun bambunya berwarna lebih gelap dibanding kicang. Warna daun bambu yang beda ini karena bak cang di dalamnya berisi daging (babi) yang diberi segala macam bumbu, yang biasanya hasil akhirnya berwarna gelap.
Sementara kicang (disebut juga dengan kuecang di beberapa tempat lain) adalah tanpa isi apa-apa, hanya ketan semua. Warna kicang sendiri ada yang putih, ada yang semu kekuningan.
Bak cang terbuat dari beras yang dicampur dengan beras ketan, sementara kicang full semua dari beras ketan. Tradisi, rasa, isi, dan bumbu serta pelengkap bak cang di tiap daerah beda, di tiap negara beda juga.
Di Semarang seingat saya rasa bak cang-nya cenderung manis. Sementara di kota-kota lain di Indonesia bervariasi, ada yang cenderung manis, asin, gurih, ada yang isinya campur telor asin, kemudian jamur, sosis merah, cabe rawit dsb.
Untuk yang Muslim, jangan kuatir, sekarang juga sudah ada yang tanpa daging yang diharamkan umat Islam tsb. Ada bermacam-macam isi bak cang sekarang. Ada bak cang isi ayam bahkan bak cang vegetarian juga ada. Kalau bak cang, di keluarga kami biasa dimakan sambil dicocol kecap manis atau kecap asin.
Waktu kami masih kecil, kami sangat menikmati acara makan bak cang bersama, bahkan kadang dibawa juga sebagai sangu ke sekolah, yang bikin teman sekolah yang tidak pernah tahu terheran-heran.
Makan kicang adalah favorit kami karena kadang makan bak cang bikin mblenger, dan paling malas kalau sudah seliliden (serpihan daging terselip di sela gigi). Sementara kicang yang kenyal-harum ini sangat nikmat dimakan dengan dicocol dengan gula cair. Gula pasir yang dipanaskan pelahan dengan api kecil sehingga jadi gula cair bening kekuningan dan ditambahkan daun pandan, adalah yang paling tepat untuk makan kicang.
Tetapi kami sering sekali melakukan modifikasi atau eksperimen lidah sendiri. Secara prinsip, karena dimakan dengan gula cair, kadang kami anak-anak mencoba dengan sirop frambors, sirop vanila, sirop jeruk, sirop mocca, seadanya apa saja ketika itu. Semua rasa khas itu masih lekat di ingatan saya, serasa masih di ujung lidah dan baru saja terjadi.
Menurut penuturan Papa dan Mama saya dulu, di Semarang, di kali Banjir Kanal, kemudian di Kali Kuping yang melintas di dekat Kelenteng Gang Lombok Tay Kak Sie, masih bisa dilayari kapal-kapal besar. Pada waktu itu jika hari Pe Cun tiba, diadakan lomba perahu naga.
Perahu-perahu kecil yang dihias dengan kepala naga akan didayung berlomba antara satu dengan yang lain. Sampai dengan detik ini saya menuliskan ini, belum pernah sekalipun saya menonton lomba perahu naga di Semarang. Yang saya dengar terakhir, di Jawa Tengah, setelah diperbolehkannya kembali perayaan-perayaan semacam ini, di Welahan, dekat Rembang, juga di banyak tempat di pesisir utara Pulau Jawa kembali disemarakkan dengan lomba perahu naga ini.
Sementara di Taiwan dan Hong Kong sudah menjadi tradisi tahunan yang jadi atraksi menarik turis dan menjadi daya jual tersendiri untuk pariwisata di sana. Yang pernah saya tonton dari TV, keramaian dan kemeriahan perlombaan perahu naga ini sungguh memikat, ditingkahi dengan gebukan tambur yang ritmis dan rancak, terlihat perahu-perahu yang dihias indah melaju membelah air.
Asal usul
Dari semua kesimpangsiuran kisah yang beredar dapat dirangkum dalam versi yang paling populer: Peringatan atas Qu Yuan
Qu Yuan (339 SM – 277 SM) adalah seorang menteri Raja Huai dari Negara Chu pada masa Negara Berperang (Zhan Guo Shi Dai, 475 SM – 221 SM). Ia adalah seorang pejabat yang berbakat dan setia pada negaranya. Ia banyak memberikan ide untuk memajukan negara Chu, bersatu dengan negara Qi untuk memerangi negara Qin.
Namun sayang, ia dikritik oleh keluarga raja yang tidak senang padanya, yang berakhir pada pengusirannya dari ibukota negara Chu. Ia yang sedih karena kecemasannya akan masa depan negara Chu kemudian bunuh diri dengan melompat ke sungai Yu Luo.
Ini tercatat dalam buku sejarah 'Shi Ji' tulisan sejarawan Sima Qian. Lalu menurut legenda, ia melompat ke sungai pada tanggal 5 bulan 5. Rakyat yang kemudian merasa sedih kemudian mencari-cari jenazah sang menteri di sungai tersebut. Mereka lalu melemparkan nasi dan makanan lain ke dalam sungai dengan maksud agar ikan dan udang dalam sungai tersebut tidak mengganggu jenazah sang menteri.
Kemudian, untuk menghindari makanan tersebut dari naga dalam sungai tersebut maka mereka membungkusnya dengan daun-daunan yang kita kenal sebagai bak cang sekarang.
Para nelayan yang mencari-cari jenazah sang menteri dengan berperahu akhirnya menjadi cikal bakal dari perlombaan perahu naga setiap tahunnya.
Makan Bak Cang (?? = Rou Zong – bahasa Mandarin)
Bentuk bak cang sebenarnya juga bermacam-macam dan yang kita lihat sekarang hanya salah satu dari banyak bentuk dan jenis bak cang tadi.
Di Taiwan, pada zaman Dinasti Ming akhir, bentuk Bak Cang yang dibawa oleh pendatang dari Fujian adalah bentuk Bak Cang yang bulat gepeng, agak lain dengan bentuk prisma segitiga yang kita lihat sekarang.
Isi bak cang juga bermacam-macam dan bukan hanya daging, ada yang isinya sayur-sayuran. Ada pula yang dibuat kecil-kecil namun tanpa isi untuk kemudian dimakan bersama srikaya.
Lomba perahu naga
Tradisi perlombaan perahu naga ini telah ada sejak zaman Negara Berperang (475 SM – 221 SM). Perlombaan ini masih ada sampai sekarang dan diselenggarakan setiap tahunnya, baik di Mainland China (Hunan), Hong Kong, Taiwan, maupun di Amerika. Bahkan ada perlombaan berskala internasional yang dihadiri oleh peserta-peserta dari luar negeri yang kebanyakan berasal dari Eropa ataupun Amerika Utara. Perahu naga ini biasanya didayung secara beregu sesuai panjang perahu tersebut.
Di Indonesia lebih sering disebut dengan Pe Cun yang berasal dari dialek Hokkian, yang berasal dari kata Pa Long Chuan yang berarti 'mendayung/mengemudikan perahu' naga. Akhirnya 'pa long chuan' disingkat menjadi 'pa chuan' dan dialek Hokkian berbunyi 'Pe Cun'.
Dalam konteks kekinian berbangsa dan bernegara, Negara Kesatuan Republik Indonesia, Perayaan Pe Cun (Sembahyang Bak Cang) ini, saya memaknainya adalah momentum yang sangat tepat meneladani Qu Yuan (dalam dialek Hokkian disebut Kut Goan) adalah contoh pejabat jujur, bersih, tidak korup, namun karena melawan arus utama yang sebaliknya: korup, korupsi, kolusi, makan uang rakyat, terjadilah perlawanan-perlawanan luar biasa.
Keteladanan nyata ditunjukkan oleh beberapa pejabat saat ini, seperti Menteri Susi, Menteri Ignatius Jonan, beberapa pemimpin daerah seperti Risma di Surabaya, Ahok di DKI Jakarta, Bupati Yoyok di Batang, Ridwan Kamil di Bandung dan mungkin masih banyak lagi, dan belakangan bertambah sosok yang cukup fenomenal adalah Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi.Namun kemunculan pembaharu-pembaharu ini mendapatkan perlawanan dahsyat.
Lomba perahu naga dalam konteks berbangsa dan bernegara adalah proses pencarian rakyat untuk mencari lebih banyak lagi pemimpin yang bersih seperti Presiden Jokowi, Ahok (mantan) Gubernur DKI Jakarta, Menteri Susi, Menteri Ignatius Jonan, Risma di Surabaya, Bupati Yoyok di Batang, Ridwan Kamil di Bandung, Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi. Dan saya yakin lebih banyak lagi dan akan lebih banyak lagi di Indonesia.
Perahu naga juga bisa dimaknai sebagai Bhinneka Tunggal Ika, kebinekaan, keberagaman Indonesia, karena pendayung perahu naga tidak mungkin terdiri dari suku yang sama, agama yang sama, etnis yang sama. Kemampuan fisiknya pun berbeda-beda, namun disatukan dalam satu iringan tabuhan tambur, satu irama yang membuat para pendayung seiring dan seirama mendayung perahu memenangkan lomba.
Para pendayung itulah kita Indonesia, iringan tabuhan tambur itulah Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika dan UUD 1945 (konstitusi), penabuh tambur itulah Presiden Jokowi; untuk bersama-sama memajukan Indonesia 'memenangkan lomba' berkiprah lebih banyak lagi di dunia.
God bless Indonesia, Happy Dragon Boat Festival, Happy Bak Cang Day, dan selamat makan Bak Cang…
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.