Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mimin Dwi Hartono
Staf Senior Komnas HAM

Staf senior Komnas HAM yang saat ini bertugas sebagai Plt Kepala Bagian Penyuluhan dan Kasubag Teknologi Informasi Komnas HAM. Pada 2006-2015, bertugas sebagai pemantau/penyelidik Komnas HAM. Hobi menulis, membaca, dan camping.

Refleksi Hari Bumi: Memulihkan Hak Ibu Pertiwi

Kompas.com - 22/04/2017, 12:29 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

BENCANA buatan manusia (man-made disaster) dan bencana ekologi seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan pencemaran seakan tiada bosan menghantam dan menghajar masyarakat Indonesia selama beberapa tahun ini.

Ibu Pertiwi semakin renta oleh sikap dan kerakusan manusia. Pada tahun 2016 di Indonesia telah terjadi 2.384 bencana. Jumlah ini meningkat dari 1.732 bencana di tahun 2015 (BNPB).

Menurut Badan Nasional Penanggulanan Bencana (BNPB), peningkatan bencana disebabkan oleh faktor alam, seperti perubahan iklim dan faktor antropogenik, meliputi degradasi lingkungan, permukiman di daerah rawan bencana, daerah aliran sungai (DAS) kritis, dan urbanisasi.

Akibat bencana, negara mengalami kerugian sebesar Rp 30 triliun setiap tahun. Untuk tipe bencana yang bisa dicegah kejadiannya atau direduksi risikonya, pemerintah punya kewajiban bertindak.

Kewajiban tersebut mulai dari melakukan pengelolaan bencana (disaster management) sehingga dapat menjamin hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hingga menjamin hak bumi untuk memulihkan dirinya sendiri (self recovery).

Dampak lingkungan hidup punya karakteristik berdimensi jangka panjang. Bencana yang muncul sekarang adalah puncak gunung es dari gagalnya pengelolaan lingkungan hidup di Tanah Air yang sudah berlangsung lebih dari 40 tahun.

Ancaman yang terpendam atau laten masih sangat besar berpotensi menjadi bencana jika akar permasalahan penyebab bencana tidak diatasi dengan segera dan komprehensif.

Upaya menemukan dan mengatasi akar masalah tersebut akan sangat kompleks karena bencana sekarang adalah buah dari proses panjang yang melibatkan pemerintah yang lalu.

Memang perbedaan antara bencana alami dan buatan manusia semakin tipis, seiring dengan meningkatnya populasi penduduk dan pembangunan yang sangat pesat pada beberapa dekade ini.

Misalnya bencana gempa bumi di Yogya dan Jawa Tengah pada 27 Mei 2006. Bencana alam tersebut menimbulkan korban jiwa yang sangat besar karena ada faktor kesalahan manusia, yaitu konstruksi bangunan yang tidak tahan gempa dan kurangnya sosialisasi pemerintah tentang kawasan rawan gempa terhadap masyarakat.

Pun dengan bencana tanah longsor di Ponorogo beberapa pekan yang lalu. Manusia, dengan keangkuhan teknologi dan nafsu ekonominya, telah menghancurkan hutan untuk menjarah kayunya, menambang isi perut bumi tanpa kendali, menjadikan sungai sebagai saluran limbah tailing, merusak daerah aliran sungai untuk membangun permukiman, dan sebagainya.

Hal tersebut telah mengakibatkan guncangnya keseimbangan ekologi (ecology disequilibrium), ketika kemampuan dan daya dukung ekologi bumi sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan (baca: keserakahan) manusia, sehingga alam bumi menjadi sangat rentan dan seakan-akan menjadi ancaman bagi manusia.

Ketidakseimbangan ekologi tersebut mulai terjadi pada 1980-an akibat pembangunan pro-pertumbuhan ekonomi yang eksploitatif terhadap sumber daya. Kebijakan nirekologi ini dilanjutkan di era Susilo Bambang Yudhoyono melalui proyek Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dan era Presiden Jokowi melaui Proyek Strategis Nasional (Peraturan Presiden No. 3/2016 dan Instruksi Presiden No. 1/2016).

Pembangunan yang menjadikan ekonomi sebagai panglima telah menempatkan sumber daya alam sebagai "sapi perahan" untuk memasok input pembangunan guna menggerakkan roda-roda pabrik dan industri di atas puing-puing kerusakan bumi.

Perspektif pembangunan ini telah berlangsung selama lebih dari 37 tahun dan harus dibayar mahal oleh generasi saat ini dan mendatang.

Sejak 2005, setiap menit, hutan alam seluas 60 kali lapangan sepak bola musnah dari bumi Indonesia akibat penebangan kayu, pembakaran hutan, dan alih fungsi hutan, misalnya untuk perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan permukiman.

 Halaman berikutnya: Ekologi vs Ekonomi....

Ekologi vs ekonomi

Untuk itu, bencana ekologi atas bumi haruslah dilihat sebagai muara atau hilir dari benang kusut dan karut-marutnya pembangunan yang pro-ekonomi dan menafikan hak asasi manusia dan hak bumi.

Didie SW/Kompas Ilustrasi
Upaya mengatasi bencana harus dimulai dari hulunya, yaitu dengan menjawab apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana bencana tersebut bisa terjadi.

Namun, anehnya, pemerintah dan juga kita seakan tidak pernah mengambil hikmah dari bencana yang terjadi karena setiap bencana yang datang hanya diatasi dengan pola karikatif dan pemberian bantuan tanpa diikuti dengan upaya mengatasi persoalan yang sesungguhnya.

Penyebab bencana bisa berupa persoalan struktural, yaitu kebijakan, ataupun sosio kultural, misalnya kemiskinan, ketidakberdayaan masyarakat, dan kesenjangan sosial.

Negara adalah pengemban amanat dalam konstitusi sebagai pihak yang menguasai (baca: mengontrol dan mengatur) kekayaan alam untuk dipergunakan bagi kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia dan pengaturannya ditentukan oleh pemerintah dengan partisipasi penuh masyarakat.

Untuk itu, negara harus berperan secara lebih sinergis dalam memobilisasi sumber daya bangsa untuk tidak lagi bermain-main dan mempermainkan bumi, walaupun sudah terlambat.

Namun, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Ini karena bumi mempunyai "ruang" hak asasi untuk mengharmonisasi dan memulihkan dirinya, dan "ruang" ini berada di luar kuasa manusia dan negara.

Sekitar 85 persen wilayah Indonesia adalah kawasan rawan bencana dan hal tersebut bertambah rentan akibat dari bencana buatan manusia.

Ancaman dan kerentanan tersebut akan menjadi bencana yang sangat dahsyat dan yang paling banyak menderita karenanya adalah masyarakat miskin, kaum wanita, anak-anak, orang tua, masyarakay adat dan penyandang disabilitas.

Untuk itu, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi warga negaranya dari segala bencana buatan manusia yang dapat membahayakan hidup dan sumber penghidupannya.

Ini adalah amanat konstitusi negara, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, yang dikuatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia: hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hakasasi manusia.

Pun dengan bumi, punya hak untuk memulihkan dirinya dari tekanan kerakusan manusia dan pembangunan.

Saatnya kita sadar bahwa bumi mempunyai kapasitas yang terbatas. Pertanyaannya, apakah kita akan sadar diri untuk membatasi eksploitasi atas bumi ataukah bumi sendiri yang akan bertindak untuk memulihkan dirinya sendiri? Selamat Hari Bumi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Nasional
Pro-Kontra 'Presidential Club', Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Pro-Kontra "Presidential Club", Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Nasional
Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Nasional
Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Nasional
SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

Nasional
Saksi Mengaku Pernah Ditagih Uang Pembelian Senjata oleh Ajudan SYL

Saksi Mengaku Pernah Ditagih Uang Pembelian Senjata oleh Ajudan SYL

Nasional
Polri Sita Aset Senilai Rp 432,2 Miliar Milik Gembong Narkoba Fredy Pratama

Polri Sita Aset Senilai Rp 432,2 Miliar Milik Gembong Narkoba Fredy Pratama

Nasional
Pesawat Super Hercules Kelima Pesanan Indonesia Dijadwalkan Tiba di Indonesia 17 Mei 2024

Pesawat Super Hercules Kelima Pesanan Indonesia Dijadwalkan Tiba di Indonesia 17 Mei 2024

Nasional
Daftar Sementara Negara Peserta Super Garuda Shield 2024, dari Amerika hingga Belanda

Daftar Sementara Negara Peserta Super Garuda Shield 2024, dari Amerika hingga Belanda

Nasional
Profil Haerul Amri, Legislator Fraksi Nasdem yang Meninggal Ketika Kunker di Palembang

Profil Haerul Amri, Legislator Fraksi Nasdem yang Meninggal Ketika Kunker di Palembang

Nasional
Demokrat Minta Golkar, Gerindra, PAN Sepakati Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Demokrat Minta Golkar, Gerindra, PAN Sepakati Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Nasional
SYL Beli Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta Pakai Uang Hasil Memeras Anak Buah

SYL Beli Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta Pakai Uang Hasil Memeras Anak Buah

Nasional
Anggota Komisi X DPR Haerul Amri Meninggal Saat Kunjungan Kerja

Anggota Komisi X DPR Haerul Amri Meninggal Saat Kunjungan Kerja

Nasional
Polri Desak Kepolisian Thailand Serahkan Fredy Pratama ke Indonesia Jika Tertangkap

Polri Desak Kepolisian Thailand Serahkan Fredy Pratama ke Indonesia Jika Tertangkap

Nasional
Jokowi Sebut 3 Hal yang Ditakuti Dunia, Wamenkeu Beri Penjelasan

Jokowi Sebut 3 Hal yang Ditakuti Dunia, Wamenkeu Beri Penjelasan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com