Siapa pun tak bisa memilih untuk terlahir dari keluarga dari etnis mana pun. Pada milenium ke-21, rasanya naif kalau kita masih ribut soal etnis. Tetapi, kita tidak boleh membohongi diri bahwa di masyarakat luas ada masalah yang serius terkait etnis Tionghoa.
Kita harus jujur mengakui bahwa di masa lalu ada kebijakan negara yang ”keliru” sehingga kini muncul jurang kesenjangan yang begitu menganga akibat penguasaan alat produksi dan sumber daya nasional oleh segelintir pengusaha yang kebetulan didominasi keturunan Tionghoa.
Persoalan menjadi lebih serius karena dalam praktiknya beberapa pengusaha papan atas dari etnis Tionghoa terlibat dalam kejahatan penjarahan kekayaan negara seperti yang terjadi dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), korupsi, dan kejahatan ekonomi lainnya, termasuk juga soal narkoba.
Praktik oligarki kekuasaan, maraknya mafia di banyak aspek kehidupan, termasuk di lingkungan lembaga pengadilan, kartel, kriminalisasi, capital violence, dan bahkan terorisme oleh negara (state terrorism) tidak terlepas dari peran mereka juga.
Namun, kita juga harus jujur mengakui bahwa keterlibatan mereka dalam berbagai kejahatan tersebut juga karena perlindungan, persekongkolan, kolaborasi, dan bahkan alat dari oknum penguasa dan juga rezim.
Kita tahu bahwa beberapa ratus pemilik tanah, tambang , dan atau hutan dengan luas berpuluh ribu, beratus ribu, dan bahkan ada yang berjuta hektar sebagian besar juga pengusaha keturunan Tionghoa.
Dalam praktiknya mereka justru tega mengusir penduduk setempat yang telah turun-temurun tinggal di situ, tetapi terkalahkan oleh ”lisensi”. Dan, mustahil untuk mendapatkan ”lisensi” atas lahan yang begitu luas dengan gratisan alias cuma-cuma. Praktik titip saham atau komisi adalah hal lazim di negeri ini.
Hikmah yang bisa dipetik
Kasus dugaan penodaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah menyebabkan sejumlah penyakit jiwa bangsa kini tampak di permukaan. Kebinekaan kita ternyata masih sebatas pada verbal.
Di antara kita masih banyak yang menempatkan agama justru sebagai sumber perpecahan dan bahkan malapetaka kemanusiaan.
Niscaya, Presiden Jokowi akan segera melakukan penataan sistem politik nasional yang mewajibkan negara memperlakukan secara setara terhadap segenap warga negara sehingga ukuran mayoritas dan minoritas menjadi tidak relevan lagi dan ke depan isu agama tidak lagi dipakai untuk kepentingan politik.
Kesenjangan sosial yang tercipta secara struktural akibat penguasaan alat produksi dan sumber daya nasional oleh konglomerat yang kebetulan dominan dari etnis Tionghoa juga tidak mungkin dibiarkan begitu saja tanpa upaya terukur untuk membenahinya, tanpa harus ada ”perang” antara pemerintah dan mereka.
Sebaliknya, mereka juga harus berbesar hati untuk mencari solusi bersama pemerintah agar lahir kebersamaan segenap warga bangsa dalam bingkai NKRI.
Dengan demikian, warga negara keturunan Tionghoa lainnya yang jumlahnya begitu besar dan tidak ikut berdosa tidak kembali menjadi korban akibat amuk massa.
Begitu pula tentang kerusakan mentalitet alat negara, mustahil tiba-tiba berubah menjadi baik hanya karena presidennya tidak mau merangkul dan dirangkul penjahat ekonomi.