State without law adalah kata yang digunakan oleh Shubhan al-Khafaidz (2007) untuk menjawab risiko kehancuran negara akibat berlaku absolutnya egoisme dan sikap ambisius pemegang kekuasaan yang suka mengembangkan berbagai model pembangkangan hukum atau penyalahgunaan etik kekuasaan. Stigma itu tidak salah.
Hukum kausalitas terjadi di negeri ini. Rentannya konstruksi negara atau tercerabutnya marwah negara hukum adalah akibat sepak terjang aparatnya yang lebih menyukai mempermainkan (memandulkan) norma-norma yuridis dan sibuk menahbiskan demagogisasi yang menguntungkan secara ekonomi dan politik.
”Memanfaatkan” (mendemagogisasi) kekuasaan merupakan salah satu jenis ”kejahatan” yang dijadikan opsi, bahkan ditahbiskan oleh oknum aparat negara, pasalnya opsi ini menjadi sumber strategis memenuhi ambisi ekonomi dan politik. Jika ambisi itu yang terus dimenangkan, sulit rasanya mengeliminasi stigma ”ketoprak ketatanegaraan”.Mereka yang berambisi ini diniscayakan akan terus melanjutkan mental oportunisnya untuk mendapat yang lebih istimewa dan menguntungkannya.
Di mata demagogis itu, konstruksi negara—mau lembek atau kuat—tak jadi pertimbangannya. Yang selalu dipertimbangkan adalah bagaimana ”sekoci-sekoci” hajat eksklusif dan instannya bisa terpenuhi. Penyakit yang dipertahankan dan diabsolutkan oleh para oportunis itu tidak boleh didiamkan oleh rakyat. Rakyat lewat berbagai organisasi harus ”mengeraskan” suaranya untuk mengingatkannya.
Rakyat tidak boleh membiarkan, apalagimengamini, mereka makin membentuk sepak terjangnya jadi oportunis. Mereka harus ”dijewer” supaya negara ini tidak dijadikan objek ”ketoprakan”. Mereka harus ”ditobatkan” agar paham dan sadar makna khitah etik dan yuridisnya sebagai pejabat negara dan bukan sebagaielemen yang memolitisasi jabatannya.
Abdul Wahid,
Wakil Direktur I Bidang Akademik Program Pascasarjana Universitas Islam Malang dan Pengurus AP-HTN/HAN
---
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 April 2017, di halaman 7 dengan judul "Ketoprak Ketatanegaraan".