Demo angkutan umum nampaknya tidak akan berhenti. Dimulai dari Yogyakarta kemudian berlanjut ke Medan, Malang, Tangerang, Bandung, Semarang, dan bisa jadi akan diikuti di daerah lain.
Sejak era reformasi, perhatian pemerintah terhadap keberadaan transportasi umum kian menurun.
Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ada kewajiban pemerintah termasuk pemerintah daerah (pemda) untuk menyelengarakan tansportasi umum (pasal 138,l 139 dan 158) dan kewajiban memberikan subsidi operasional (pasal 185).
Di Jawa Tengah, misalnya, jumlah angkutan pedesaan yang beroperasi tinggal 20 persen, sehingga beberapa trayek transportasi pedesaan sudah hilang. Dan ini tentunya berpengaruh pada pola mobilisasi warga pedesaan dan tingkat kemiskinan.
Adapun bus antar-kota dalam provinsi (AKDP) yang beroperasi sudah kurang dari 40 persen dengan tingkat isian (load factor) juga kurang dari 40 persen. Idealnya, load factor minimal 70 persen agar usaha angkutan umum tetap berjalan.
Hal yang sama juga terjadi di perkotaan, rata-rata angkutan umum yang beroperasi rutin kurang dari 30 persen dengan tingkat isian kurang 40 persen.
BST dan BRT
Pada 2004, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan mulai menggagas bus system transit (BST) dengan kosep membeli pelayanan (buy the service). Kota Batam sebagai pilot project pertama.
Namun, dalam perkembangannya hingga sekarang, tidak banyak kota yang serius menyelenggarakan BST tersebut. Selain kendala anggaran juga kemampuan sumber daya manusia di daerah yang terbatas. Bahkan, yang lebih ironis, program BST jadi ladang korupsi dan kolusi mulai kepala daerah hingga bawahannya.
Saat ini sudah lebih dari 20 kota di Indonesia menyelenggarakan program BST. Penyelenggaraan bus rapid transit (BRT) di Jakarta sudah bisa jadi contoh nyata bagi daerah. Di Jakarta, sejumlah bus antre hadir di halte menunggu penumpang naik dan turun.
Berkebalikan di daerah, penumpang antre menunggu bus kapan akan hadir di halte, dikarenakan jumlah armada bus melayani yang kurang. Di daerah, program BST asal ada, tidak diurus serius.
Sepeda motor dan LGCC
Menurunnya pengguna angkutan umum mulai dirasakan saat sepeda motor mudah didapat dan terjangkau kemampuan warga untuk diangsur. Dengan uang muka Rp 500.000 sudah memiliki sepeda motor.
Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sepeda motor berkembang pesat. Sebelum 2005, produksi sepeda motor kisaran 2 juta – 3 juta unit per tahun. Sekarang, diproduksi rata-rata sudah mencapai 8 juta unit sepeda motor per tahun.
Kemudian muncul kebijakan mobil murah dan hemat energi (low cost green car/LCGC) dapat fasilitas khusus dari pemerintah tidak dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN). Keberadaan LCGC turut mempengaruhi warga makin beralih ke kendaraan pribadi.
Manajemen layanan transportasi umum tidak banyak berubah. Manajemen kepemilikan pribadi, sistem setoran dan ngetem membuat angkot kurang diminati penumpang. Alhasil, angkot kian ditinggalkan.
Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, diluncurkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) sekitar Rp 200 triliun per tahun. Penikmat terbesar adalah sepeda motor (53 persen) dan mobil probadi (40 persen). Adapun angkutan umum hanya menikmati 3 persen subsidi (terendah) dan mobil barang 4 persen.
Transportasi berbasis aplikasi
Di era Presiden Joko Widodo, mulai marak penggunaan teknologi informasi dan merambah di sektor transportasi. Muncullah angkutan umum sewa beraplikasi, baik ojek sepeda motor maupun taksi.
Sekadar catatan, ojek pangkalan berkembang saat krisis moneter 1998, karena banyak terjadi pengangguran. Dalam semua itu, Pemerintah lupa untuk membenahi transportasi umum.
Mendasari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, ojek tidak termasuk jenis transportasi umum. Sepeda motor bukan kendaraan yang berkeselamatan. Sepeda motor hanya cocok untuk digunakan sebagai angkutan lingkungan.
Keberadaan taksi beraplikasi memberi kemudahan bagi warga untuk mendapatkannya. Selain tarif yang relatif murah dibanding taksi resmi. Keberadan teknologi informasi tidak dapat dicegah dan sangat membantu konsumen mendapatkan transportasi umum.
Kota Solo melarang beroperasi taksi beraplikasi. Moda ini dapat diizinkan beroperasi jika bergabung dengan taksi resmi yang sudah ada, jadi, tidak membentuk jenis angkutan umum yang baru. Adapun ojek on line dilarang beroperasi, kecuali untuk antar makanan (go food) atau barang.
Pada 2016, Kemenhub telah mengeluarkan Permenhub Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Umum Penumpang Tidak dalam Trayek Tetap. Secara eksplisit, transportasi online sudah diakomodir.
Masalahnya, para operator transportasi online kurang sepakat dengan aturan tersebut dan menginginkan tidak mengikuti aturan yang sudah dibuat.
Padahal, online sebenarnya hanya sistem. Dengan keterbatasan SDM di daerah, pemda perlu mempertimbangkan masak-masak pemisahan taksi resmi dan taksi online ini.
Peran kepala daerah sangat besar untuk menyegerakan penataan transportasi umum di daerahnya. Pemimpin yang mengurus transportasi umum, sesungguhnya adalah pemimpin yang ikut mengurus kebutuhan rakyatnya, terutama kebanyakan rakyat kecil.
Jika sang pemimpin mampu dan berhasil menata transportasi umum, sangat boleh jadi, dia mampu menata wilayahnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.