JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti bidang Hak Asasi Manusia Setara Institute, Ahmad Fanani Rosyidi mengatakan, meningkatnya kasus pelanggaran HAM selama 2016 di Papua dapat dilihat dalam tiga sektor.
Sektor pertama yakni kekerasan terhadap warga sipil berupa penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan.
Berdasarkan laporan kondisi HAM di Papua pada 2016, kasus pelanggaran HAM dialami beragam kelompok, dari mulai warga sipil hingga aktivis organisasi politik Papua.
Setara Institute menyebutkan jumlah korban dari warga sipil mencapai 2.214 orang, sedangkan dari aktivis politik terdata 489 orang.
(Baca: Setara Kritik Kebijakan Jokowi Terkait Pembangunan di Papua)
"Tindakan penangkapan terhadap ratusan aktivis Papua di tahun 2016 merupakan sebuah sejarah HAM yang paling kelam terjadi di Indonesia," ujar Fanani saat jumpa pers di kantor Setara Institute, Jakarta Selatan, Senin (20/2/2017).
Sektor kedua, masifnya peristiwa pembatasan kebebasan berekpresi di Papua.
Menurut Fanani, sepanjang tahun lalu, masih banyak terjadi peristiwa pembatasan hak berkumpul dan menyuarakan pendapat. Pembatasan ini juga dialami tahanan politik Papua.
Meskipun pemerintah melakukan langkah pemberian grasi pada sejumlah Tapol, tapi sampai sekarang masih terjadi upaya penangkapan dan penahanan terhadap aktivis di Papua.
Fanani menuturkan, kasus kriminalisasi terhadap aktivis Papua yang paling menonjol terjadi pada saat penangkapan ketua Komite Nasional Papua Barat Steven Itlay.
Steven ditangkap usai memimpin aksi damai mendukung ULMWP diterima sebagai anggota penuh MSG pada KTT di Honiara, Kepulauan Solomon, Kamis (14/7/2016) lalu.
Kriminalisasi juga tidak hanya terjadi di wilayah Papua, menurut Fanani belakangan terjadi penangkapan terhadap empat mahasiswa asal Papua di Manado atas tuduhan makar.
"Aksi tersebut berakhir dengan tindakan represif dan penangkapan. Polanya selalu sama, dituduh makar, padahal mereka hanya mengekspresikan hak sipil politiknya sebagai warga negara," ucapnya.
Sektor ketiga yakni masih maraknya peristiwa pembatasan kebebasan pers. Pembatasan pers di Papua, kata Fanani, masih terjadi baik terhadap pers asing maupun lokal.
Meskipun sudah mencabut kebijakan pembatasan terhadap pers asing, namun kenyataannya pemerintah membatasi izin liputan terhadap wartawan asing.
Terhadap pers lokal pun pemerintah secara sepihak melakukan pemblokiran terhadap terhadap situs media online suarapapua.com.
Selain itu, Fanani juga mengkritik sikap pemerintah di forum internasional yang dinilai menjalankan diplomasi "tutup mata" dengan menyangkal seluruh komplain dan informasi pelanggaran HAM di Papua.
"Dalam banyak forum, pemerintah lebih defensif tanpa dasar memadai. Keangkuhan pemerintah di hadapan internasional dengan sama sekali mengabaikan laporan situasi hak asasi manusia," ujar Fanani.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos menuturkan, pemerintah harus merancang suatu kebijakan baru penanganan pelanggaran HAM Papua untuk memperoleh kepercayaan rakyat Papua.
Dengan demikian dapat tercipta dialog-dialog lanjutan pembangunan Papua yang komprehensif.
(Baca: Setara Institute: Pada 2016, Terjadi 107 Pelanggaran HAM di Papua oleh Aparat)
Menurut Bonar, pemerintah dan warga Papua perlu mengupayakan dialog terbuka dengan komitmen tinggi untuk memahami Papua secara bersama-sama.
"Pemerintah harus mengedepankan pendekatan dialog dengan meletakkan kehormatan warga Papua, penegakan hukum atas berbagai pelanggaran HAM, dan intervensi kesejahteraan secara berkelanjutan sebagai kunci penanganan Papua yang komprehensif," kata Bonar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.