JAKARTA, KOMPAS.com — Pengamat teroris dan intelijen dari Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya, yakin Siti Aisyah adalah korban dari skenario besar pembunuhan Kim Jong Nam, kakak tiri pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un.
Siti diyakini pula bukanlah agen Korea Utara (Korut) seperti menurut spekulasi yang sempat beredar.
"Siti adalah korban. Dari rekam jejak, dia juga jauh dari sosok seorang agen Korut," ujar Harits melalui pesan singkat, Senin (20/2/2017).
(Baca: Wapres Anggap Siti Aishah Korban Penipuan)
Keyakinan itu didasarkan pada beberapa hal. Pertama, Harits berpendapat, Kim Jong Nam menjadi korban pembunuhan yang telah diskenariokan secara matang, yakni "dibungkus" menggunakan alibi acara televisi reality show.
"Alibi acara reality show sangat ganjil. Aksi di ruang publik dengan jumlah orang yang banyak, tetapi kemudian terget fokusnya adalah sosok yang termasuk VVIP," ujar Harits.
Sebab, karakter acara reality show adalah random. Sangat kecil sekali probabilitasnya Kim Jong Nam menjadi target di tengah ratusan orang di lokasi yang sama.
Namun, nyatanya Kim Jong Nam-lah yang menjadi target dan pada akhirnya meninggal dunia.
(Baca: Siti Aisyah Jalani Rekonstruksi Pembunuhan Kim Jong Nam)
Soal motif pembunuhan, Harits menyebut, banyak kemungkinannya. Mulai dari konflik politik di lingkar kekuasaan Korea Utara hingga operasi intelijen negara musuh Korea Utara untuk mendiskreditkan penguasa.
Kedua, sosok Siti diyakini Harits dipilih oleh sang master mind menjadi salah satu eksekutor, yakni dengan berpura-pura direkrut menjadi talent sebuah acara televisi reality show. Sosok Siti terpilih lantaran sifatnya yang lugu dan tidak paham.
"Oleh karenanya, dengan uang 100 dollar AS, Siti pun mau disuruh jadi apa pun," ujar Harits.
(Baca: Mungkinkah Siti Aisyah Membunuh Kim Jong Nam?)
Ketiga, sosok Siti diyakini bukan seorang agen intelijen Korea Utara. Dasar keyakinan ini terkait dengan salah satu dugaan motif pembunuhan Kim Jong Nam, yakni konflik politik di lingkar kekuasaan Korea Utara.
"Belum banyak agen Korut di Indonesia karena secara politik pun Indonesia tidak terlalu banyak 'urusan' dengan Korut. Orang Korut masuk ke Indonesia pun sangat selektif, yakni dengan proses CH (clearing house)," ujar Harits.
Siti, lanjut Harits, jauh lebih memungkinkan direkrut agen negara musuh Korut. Namun, dari argumentasi ini pun, Siti juga diyakini menjadi korban, bukanlah bagian dari intelijen.
Harits mengatakan, aparat Kepolisian Malaysia bisa mengurai kasus ini, mencari siapa master mind yang sesungguhnya.
(Baca: Misteri Siti Aisyah dan Pembunuhan Kim Jong Nam...)
Kepolisian Malaysia bisa menelusuri pihak-pihak yang terlibat dalam acara televisi reality show berdarah tersebut.
Pemerintah Indonesia juga diharapkan memaksimalkan advokasinya terhadap Siti agar memperoleh informasi yang jelas bahwa statusnya bukanlah agen intelijen yang sedang melancarkan operasi targetnya.
"Ini juga menjadi pelajaran penting bagi WNI yang mengais dollar di negara asing agar waspada dan tidak mudah terjebak dalam kasus serupa," ujar Harits.