JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM I Wayan Kusmiantha Dusak mengatakan, ada tiga faktor utama yang menyebabkan kasus narapidana koruptor pelesiran kembali terjadi.
Ketiga faktor tersebut adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia, praktik suap terhadap petugas lapas dan lemahnya pengawasan.
Dia membantah kasus tersebut terjadi karena lemahnya sistem internal atau sistem prosedur operasional lapas.
"Sebenarnya SOP-nya sudah jelas. Sudah kami perbaiki. Ini kan masalahnya di manusianya. Kalau sistemnya sudah jelas. Prosedur yang dikeluarkan itu sudah betul tapi kalau di luar kok seperti itu. Berarti kan SDM-nya bukan prosedurnya," ujar Wayan saat ditemui di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Senin (13/2/2017).
(baca: Ini Para Napi Korupsi di Lapas Sukamiskin yang Terbukti Pelesiran)
Wayan menuturkan, setiap petugas lapas tidak dibekali kemampuan dalam menangani narapaidana kasus korupsi secara khusus.
Selama ini materi pembekalan yang diberikan dalam Akademi Ilmu Pemasyarakatan hanya berupa penanganan narapidana secara umum.
Sementara dari sisi kuantitas, jumlah petugas lapas tidak sebanding dengan jumlah narapidana.
(baca: Bantu Napi Korupsi Pelesiran, 6 Petugas Lapas Diupah Rp 100.000)
Lulusan Akademi Ilmu Pemasyarakatan, kata Wayan, hanya sekitar 1.500 orang di seluruh Indonesia. Sedangkan jumlah napi mencapai sekitar 208.000 orang.
"Selama tiga tahun petugas lapas diajarkan bagaimana menangani narapidana, tetapi tidak dilatih untuk menangani kejahatan tertentu. Umum saja semua kejahatan. Nah, bagaimana cara mengahadapi koruptor, ini kan tidak dilatih," kata Wayan.
"Petugas lapas semakin berkurang. Tahun ini ada 2.000 orang lebih yang akan pensiun. Tidak seimbang dengan penambahan. Napi makin bertambah. Petugasnya semakin turun," ungkapnya.
Lemahnya kualitas SDM semakin diperparah dengan adanya praktik suap yang terjadi di dalam lapas.
Wayan mengatakan, seringkali narapidana kasus korupsi menekan petugas lapas untuk menerima suap.
"Sebenarnya bukan pilihan, tapi karena ada paksaan. Masalah Gayus kan juga seperti itu. Pengembangan dan peningkatan kualitas SDM-nya yang perlu kami perhatikan," tutur Wayan.
Faktor lain yang juga menjadi penyebab adalah lemahnya pengawasan petugas lapas saat narapidana meminta izin keluar lapas.
Wayan menegaskan bahwa pihak lapas akan berkoordinasi dengan kepolisian untuk memperketat pengawasan narapidana selama berada di luar lapas.
"Makanya salah satu solusinya menggunakan petugas kepolisian," ujar Wayan.
Sebelumnya mantan Wali Kota Palembang Romi Herton diketahui pergi ke rumah di Jalan Kuningan Raya Nomor 101, Kelurahan Antapani Tengah, sekitar 4,5 kilometer dari Sukamiskin pada 29 Desember 2016. Di sana, tinggal istri muda Romi bernama Lisa Zako.
Sementara terpidana kasus korupsi pengadaan alat Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Anggoro Widjojo juga dilaporkan berkunjung empat kali ke Apartemen Gateway, berjarak 3,5 kilometer dari Sukamiskin.
Ia kembali ke selnya pada 29 Desember 2016 menaiki mobil pribadi yang dikemudikan seorang perempuan.
Adapun, mantan Bupati Bogor Rachmat Yasin juga tepergok ke rumah kontrakan di Kompleks Panorama Alam Parahyangan akhir Desember 2016 lalu.
Kini, Anggoro dipindahkan ke Lapas Gunung Sindur, Bogor. Dua koruptor lain juga direncanakan dipindahkan ke sana dalam waktu dekat.
Kasus yang sama juga pernah terjadi pada September 2015. Terpidana kasus korupsi pajak Gayus Tambunan kedapatan makan di restoran di kawasan Jakarta Selatan seusai menghadiri sidang perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Utara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.