PRESIDEN ke-6 Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY tidak banyak berubah. Setidaknya itu dari pengamatan saya yang sejatinya sangat terbatas.
Lama tidak melihat SBY langsung berpidato di depan massa, Selasa (7/2/2017) malam, saya mendapatinya di Jakarta Convention Center.
Meskipun sedikit terlambat lantaran kemacetan di sekitar Senayan yang tidak terduga, saya belum kehilangan momentum untuk menyaksikan tidak banyak berubahnya SBY itu.
Tiba di JCC pukul 20.05 WIB, saya melihat lautan manusia berseragam biru memenuhi Pleanary Hall. Kelompok-kelompok orang masih berusaha masuk ke ruangan yang membiru itu.
Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY yang dimunculkan di akhir acara bertajuk Dies Natalis Partai Demokrat ke-15 membantu saya memperkirakan jumlah orang berseragam biru yang hadir. Calon Gubernur DKI Jakarta ini menyebut ada 5.000 orang kader Partai Demokrat dari seluruh Indonesia.
AHY, putra sulung SBY mendapat tempat khusus di acara ulang tahun partai yang didirikan saat ayahnya ulang tahun ke-52, 9 September 2001. Maju ke panggung tempat SBY berpidato satu jam lebih beberapa menit, AHY didampingi Sylviana Murni, calon wakil gubernurnya.
Di panggung Dies Natalis ke-15 Partai Demokrat ini, selain para pejabat teras Partai Demokrat dan para elitenya dari berbagai daerah, ada Ani SBY dan Edhie Baskoro Yudhoyono atau EBY.
Ani SBY bukan saja karena istri SBY dan ibu dari AHY ada di panggung itu. Ani SBY pernah menjadi Wakil Ketua Umum Partai Demokrat di era perjuangan SBY menjadi Presiden tahun 2004.
Sementara EBY,setelah tidak menjadi Sekretaris Jenderal Partai Demokrat adalah Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR. Keduanya adalah sosok yang membawa kejayaan Partai Demokrat tahun 2004 dan 2009.
Tampilnya AHY untuk pertama kali di acara resmi dan terbuka Partai Demokrat disambut meriah dengan riuh tepuk tangan dan teriakan dukungan. Wajah AHY juga cerah.
Sambutan sekitar tiga menit disampaikan. Intinya, AHY berterima kasih kepada SBY dan Ani SBY yang dicintai, dihormati, dan dimuliakan serta kepada semua kader yang hadir.
AHY mengaku mendapat semangat baru dan tekadnya makin bulat memenangkan Pilkada DKI Jakarta setelah hadir di acara dies natalis. Dies natalis ini adalah acara yang tertunda sekitar lima bulan lamanya.
Minta gubernur baru
Menurut mantan Komandan Batalyon Infanteri Mekanis 203/Arya Kemuning berpangkat mayor ini, Jakarta butuh gubernur baru yang benar-benar mencintai rakyat apa adanya.
Bagi kita yang awam, batalyon infanteri adalah satuan militer dengan jumlah personel sekitar 700-1000 orang.
Didampingi Roy Suryo yang pernah menjadi pembantu SBY karena menggantikan Andi Mallarangeng yang terjerat kasus korupsi, SBY berbicara kepada pemain kibor.
Menyaksikan komunikasi singkat SBY dengan pemain kibor ini, Roy Suryo lantas bergerak ke sisi lain. Dengan kode jempol dan kelingking diacungkan, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga ini meminta pelantang untuk dipakai SBY.
Setelah memegang pelantang, SBY lantas berbicara sesaat setelah AHY berhenti. SBY mengaku ada yang memintanya menutup acara dengan menyanyikan satu lagu.
SBY lantas menyebut akan menyanyikan "Munajat Cinta" yang digubah refrain-nya seperti sambutan AHY tentang perlunya gubernur baru yang mencintai rakyat apa adanya.
Usai lagu ciptaan Ahmad Dhani itu dinyanyikan penuh oleh SBY, rangkaian acara peringatan hari lahir Partai Demokrat berakhir. Sudut-sudut JCC penuh dengan orang berpakaian biru yang berhamburan hendak pergi.
Dalam keriuhan orang berseragam yang hendak pergi itu, saya kembali ke kantor. Di perjalanan, saya membandingkan pengalaman sekitar 10 tahun lalu meliput SBY hampir setiap hari dengan pengalaman malam itu. SBY tidak banyak berubah.
SBY yang tidak berubah
Apa yang tidak berubah? Tidak sulit menyebutnya.
Pertama, yang melekat pada SBY selama satu jam lebih beberapa menit yaitu podium. Podium yang dipakai SBY berpidato sama dengan podium yang dipakainya selama 10 tahun menjabat sebagai Presiden ke-6 RI.
Saya tidak melihat bedanya selain logo yang melekat di depan podium. Jika dulu logo yang melekat adalah Garuda Pancasila, semalam logo yang melekat adalah logo Partai Demokrat yang mirip logo Mercedes Benz itu.
Kedua, pelantang. Podium di era Presiden ke-6 RI selalu melekat dengan pelantangnya. Malam itu, saya mendapati dua pelantang yang sama di podium itu.
Pelantang tambahan juga selalu disediakan seperti yang malam itu dipakai SBY menyanyi dan diberikan Roy Suryo.
Bedanya, jika di masa Presiden ke-6 RI, podium dan pelantang itu dibawa-bawa ke seluruh Indonesia dan dijaga oleh beberapa petugas khusus, malam itu saya tidak menemukan petugas khusus itu.
Saya hanya melihat Roy Suryo membantu memberikan pelantang ke SBY dan Roy Suryo pasti bukan petugas khusus itu.
Ketiga, panggung. Sejak Pemilu 2004 dan terutama Pemilu 2009, setting panggung SBY selalu baik dan tersiapkan dengan baik. Siapa saja dan apa saja yang ada di panggung sudah diukur dampaknya.
Kesadaran visual dan rekaman kamera televisi membimbing kebiasaan yang sudah menjadi tradisi ini. Malam itu, saya medapati panggung yang kurang lebih sama dengan panggung SBY di Pemilu 2009.
Untuk urusan panggung ini, penatanya adalah orang-orang yang di Pemilu 2009 menyiapkan kampanye-kampanye SBY. Jika dicari bedanya adalah ketidakhadiran Choel Mallarangeng yang dalam Pemilu 2009 menjadi manajer kampanye SBY.
Untuk kemeriahan sambutan audiens, diberikan bendera Merah Putih dan bendera Partai Demokrat untuk dikibar-kibarkan. Pernak-pernik yang menghadirkan kemeriahan ini tidak pernah absen di acara-acara SBY saat menjadi Presiden ke-6 RI.
Kelima, pidato. Harus diakui, SBY mahir menyampaikan berpidato. Setidaknya menyiapkan pidato yang panjang dan runtut.
Untuk membimbing sejumlah audiens agar bisa tetap mengikuti, disediakan teks yang tercetak dalam buku. Malam itu, pidato satu jam lebih beberapa menit itu tertuang dalam buku 35 halaman berjudul "Indonesia untuk Semua".
Keenam, masih terkait pidato adalah teleprompter. Tidak mudah mengingat pidato panjang. SBY saat menjadi Presiden ke-6 kerap menggunakan bantuan teknologi ini.
Malam itu, kebiasaan SBY saat menjadi Presiden dilakukan juga. SBY bisa berpidato dengan baik dan audiens bisa mengikuti secara terstruktur seperti yang sudah disiapkan di dalam buku.
Ketujuh, nyanyian. Tidak selalu SBY bernyanyi setelah berpidato. Namun, ketika masa kampanye dan momen-momen khusus, SBY memimpin dan menyumbangkan suara dengan bernyanyi.
Tidak heran karena menyanyi adalah kegemaran SBY. Beberapa album telah lahir di sela-sela kesibukannya yang luar biasa menjadi Presiden ke-6 RI.
Jika dalam kampanye-kampanye sebelumnya saat masih menjadi Presiden ke-6 RI SBY menyertakan banyak artis termasuk menyanyikan lagu ciptaannya, malam itu SBY memilih solo dengan lagu orang lain.
SBY bernyanyi sendiri atas permintaan kader-kadernya. Lagu yang dipilih SBY adalah "Munajat Cinta" ciptaan Ahmad Dhani. Syair pembukanya menyayat hati, "Malam ini, Ku sendiri, Tak Ada yang Menemani..."
Kedelapan, fotografer kembar. Selama kegiatan itu semua, dua fotografer yang saling melengkapi mengabadikan kegiatan SBY dari dua sisi yang berbeda.
Untuk fotografer kembar ini juga tidak berubah seperti SBY yang tidak banyak berubah. Dua fotografer itu adalah dua fotografer yang menjadi fotografer pribadi SBY sejak 2004.
Sambil mengingat banyak hal yang tidak berubah dari SBY yang setelah saya hitung jumlahnya delapan, perjalanan saya sudah mengantar saya kembali ke kantor. Saya tidak akan melanjutkan mengingat hal-hal lain yang tidak berubah dari SBY, Presiden ke-6 RI.
Oya, sebutan Presiden ke-6 RI untuk SBY juga tidak berubah dan tidak akan berubah meskipun akan ada presiden baru dan baru lagi, berkali-kali. Sebutan Presiden ke-6 RI juga jadi profil SBY di Twitter dengan pengikut lebih dari 9,5 juta akun.
Ini sejumlah yang yang tidak banyak berubah dari SBY. Saya menyebutnya konsistensi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.