"Kami memang mendorong jalur yudisialnya tapi kalau kemudian Kejaksaan Agungnya tidak kooperatif terus apa yang bisa dilakukan oleh Komnas HAM. Karena kalau penyelidik itu harus bekerja sama dengan penyidik," ujar Imdadun saat ditemui di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Senin (30/1/2017).
Imdadun menuturkan, dengan kondisi politik saat ini, sulit jika upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu hanya mengandalkan satu opsi.
Dia menegaskan bahwa saat ini Komnas HAM akan terus berkomunikasi dengan pemerintah terkait konsep rekonsiliasi agar tetap memenuhi prinsip-prinsip universal HAM dan pemenuhan hak korban.
"Bagaimana caranya (rekonsiliasi) masih akan kami bicarakan dalam hal ini Komnas menjaga agar prinsip-prinsip HAM dalam rekonsiliasi itu terpenuhi," ucapnya.
Namun pada Kamis (2/2/2017), Imdadun mengatakan, penyelesaian kasus TSS tak sepenuhnya dituntaskan lewat rekonsiliasi.
"Jadi saya tekankan tidak ada kesepakatan bahwa pelanggaran berat HAM masa lalu diselesaikan murni dengan metode non pro-justicia atau pro-justicia. Komnas HAM hingga hari ini menempuh dua cara, yudisial dan non-yudisial," ujar Imdadun.
(Baca: Komnas HAM: Belum Ada Kesepakatan Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu)
Janggal
Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang penegakan HAM menilai ada kejanggalan dalam penetapan rencana rekonsiliasi.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar mengatakan, ada banyak aspek yang menunjukan bahwa rekonsiliasi seolah dibuat untuk meniadakan kejahatan dan pertanggungjawaban pejabat negara.
Pertama, adanya aspek error in persona, sebab keputusan rekonsiliasi dibuat saat Wiranto menjabat sebagai Menko Polhukam.
(Baca: Rekonsiliasi Kasus Trisakti-Semanggi Dinilai Tak Sesuai Asas Keadilan)
Sementara, kata Haris, dalam penyelidikan Komnas HAM tahun 2002 Wiranto disebut sebagai salah satu pejabat negara yang bertanggungjawab saat kasus Trisakti dan Semanggi terjadi.
"Keputusan ini bisa dilihat sebagai cara mengaburkan kejahatannya melalui jabatannya dengan membuat cara yang seolah menyelesaikan padahal justru meniadakan kejahatan dan tanggungjawabnya," ujar Haris saat dihubungi, Kamis (2/2/2017).
Aspek kedua, konsep rekonsiliasi tidak memiliki rujukan hukum yang kuat. Aspek ketiga, tidak relevannya alasan Kejaksaan Agung yang kesulitan mencari alat bukti.