JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani menilai, upaya rekonsiliasi dalam menuntaskan kasus pelanggaran berat HAM Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II (TSS) merupakan langkah yang keliru dan melawan asas keadilan publik.
Ismail mengatakan, jika merujuk pada Undang-Undang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, mekanisme non-yudisial hanya dibenarkan jika secara teknis hukum, sulit diperoleh bukti-bukti yang dapat dijadikan dasar penyelidikan, penyidikan, dan pemeriksaan di Pengadilan HAM.
"Sementara untuk kasus TSS, selain bukti-bukti telah dihimpun oleh Komnas HAM sendiri. Saksi-saksi peristiwa juga masih sangat mungkin dimintai keterangan karena masih hidup dan bahkan banyak yang menjadi pajabat negara. Karena itu pilihan non yudisial adalah langkah keliru dan melawan keadilan publik," ujar Ismail melalui keterangan tertulis, Kamis (2/2/2017).
Selain itu, menurut Ismail, ada bias politik atas pilihan rekonsiliasi dalam menyelesaikan kasus TSS dan menjadi keputusan yang pragmatis.
(Baca: Tragedi Trisakti-Semanggi, Menkumham Sebut Rekonsiliasi Cara Terbaik)
Ismail mengatakan, pada saat kasus Trisakti dan Semanggi terjadi, Wiranto memegang komando tertinggi atas TNI dan Polri.
Seharusnya, Wiranto dan beberapa pejabat TNI/Polri saat itu dimintai keterangan dan pertanggungjawaban.
Dengan demikian, secara moral dan politis, penyelesaian kasus TSS tidak bisa diselesaikan melalui rekonsiliasi.
"Mekanisme non-yudisial untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM Trisakti, Semanggi I dan II seperti disampaikan Menko Polhukam Wiranto dan Komnas HAM merupakan keputusan pragmatis dan bias politik," ujar dia.
Ismail juga meminta Presiden Joko Widodo mengambil sikap tegas, sebagaimana dijanjikan dalam Nawacita dan RPJMN 2015-2019.
Presiden Jokowi pernah berjanji bahwa penyelesaian pelanggaran HAM akan dilakukan setelah proses pengungkapan kebenaran terlebih dulu oleh suatu komite khusus.
(Baca: Pemerintah Putuskan Penyelesaian Kasus Trisakti dan Semanggi Melalui Jalur Rekonsiliasi)
Komisi tersebut yang akan menentukan pilihan jalur yudisial atau non yudisial untuk menyelesaikan warisan pelanggaran HAM masa lalu.
"Presiden Jokowi jangan lengah dengan manuver sejumlah pihak yang menghendaki penyelesaian pelanggaran HAM bertolak belakang dengan janjinya. Oleh sebab itu Presiden Jokowi harus merealisasikan komitmennya dengan membentuk Komisi Kepresidenan Pengungkapan Kebenaran dan Keadilan," kata Ismail.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly membenarkan rencana pemerintah terkait penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II (TSS) melalui jalur non-yudisial atau rekonsiliasi.
Menurut Yasonna, rencana tersebut telah ditetapkan melalui beberapa kali rapat dan diputuskan bahwa jalur rekonsiliasi merupakan solusi terbaik untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu, termasuk kasus TSS.
Yasonna mengatakan, keputusan tersebut salah satunya berangkat dari alasan Kejaksaan Agung yang kesulitan dalam mencari alat bukti saat proses penyidikan.
Dengan demikian, kasus TSS mustahil untuk diselesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc.
Hal senada juga diungkapkan oleh Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto.
Saat dikonfirmasi Kompas.com, Wiranto membenarkan adanya rencana rekonsiliasi dalam menuntaskan kasus TSS.
Namun, Wiranto belum bisa menjelaskan konsep rekonsiliasi yang akan diterapkan oleh pemerintah.
"Iya itu ada. Nanti saya jelaskan. Saya belum bisa jelaskan sekarang," ujar Wiranto singkat.
Hasil penyelidikan Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II pada bulan Maret 2002, menyatakan bahwa ketiga tragedi tersebut bertautan satu sama lain.
KPP HAM TSS juga menyatakan, bahwa “…terdapat bukti-bukti awal yang cukup bahwa di dalam ketiga tragedi telah terjadi pelanggaran berat HAM yang antara lain berupa pembunuhan, peganiayaan, penghilangan paksa, perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik yang dilakukan secara terencana dan sistematis serta meluas…”.
Komnas HAM melalui KPP HAM TSS merekomendasikan untuk melanjutkan penyidikan terhadap sejumlah petinggi TNI/POLRI pada masa itu.
Namun, hingga saat ini Kejaksaan Agung belum meneruskan berkas penyelidikan tersebut ke tahap penyidikan.
emerintah telah menyosialisasikan sejak jauh hari bahwa KK tak bisa digunakan sebagai syarat menyoblos.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.