JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Pol Martinus Sitompul mengatakan, pihaknya mendalami sejumlah nama yang disebut dalam dakwaan Kepala Unit III Subdit III Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri AKBP Brotoseno.
Dalam surat dakwaan Brotoseno yang dibacakan saat sidang Rabu (1/2/2017) kemarin, turut disebut nama mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
"Kami kumpulkan informasi-informasi yang kami dapat. Itu kami dalami dulu," ujar Martinus, di Kompleks Mabes Polri, Jakarta, Kamis (2/2/2017).
Martinus mengatakan, biasanya, dalam setiap sidang, ada petugas yang diminta memantau langsung jalannya proses pengadilan.
Setelah itu, akan disusun sebuah laporan untuk menindaklanjuti fakta persidangan.
Jika fakta di persidangan mengarah ke pidana, bisa ditindaklanjuti ke tahap penyelidikan.
"Kalau naik ke penyidikan, berarti ada unsur pidananya. Tapi sebelum penyelidikan, ada pendalaman dulu," kata Martinus.
Dugaan korupsi cetak sawah
Brotoseno didakwa menerima Rp 1,9 miliar rupiah terkait kasus dugaan korupsi cetak sawah di daerah Ketapang, Kalimantan Barat.
Pada Agustus 2016, muncul surat panggilan terhadap Dahlan untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus tersebut.
Adanya surat panggilan itu akhirnya sampai ke Direktur Utama PT Jawa Pos National Network Suhendro Boroma.
Ia pun meminta Harris Arthur Hedar, advokat Jawa Pos Group untuk mengurus penundaan panggilan terhadap Dahlan.
Harris juga dijerat bersama Brotoseno dalam kasus itu.
Selain itu, Suhendro juga meminta agar ada surat keterangan dari polisi bahwa Dahlan tidak bersalah, jika memang tidak terlibat dalam kasus itu.
Harris kemudian menemui Lexi Mailowa Budiman yang punya banyak kenalan di Bareskrim Polri yang bisa menghubungkan dengan penyidik kasus cetak sawah.
Lexi bertemu dengan Dedy Setiawan Yunus, penyidik di Dittipidum Bareskrim Polri. Lewat Dedy, Lexi diperkenalkan dengan Brotoseno.
Harris kemudian meminta Suhendro menyiapkan biaya operasional sebesar Rp 6 miliar hingga Rp 7 miliar dan disanggupi.
Ia mengupayakan dana dari PT Kaltim Elektrik Power, yang sebagian sahamnya dimiliki Dahlan.
Setelah itu, Brotoseno pun menjelaskan penanganan kasus tersebut, termasuk soal pemanggilan Dahlan.
Padahal, selaku penyidik, semestinya Brotoseno memegang rahasia penyidikan.
Brotoseno kemudian menyampaikan kepada Lexi bahwa dirinya membutuhkan biaya miliaran rupiah untuk berobat orang-tuanya yang sakit ginjal.
Permintaan Brotoseno pun dipenuhi Lexi.
Sekitar tanggal 18-21 Oktober 2016, bertempat di pavilliun RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Brotoseno menerima Rp 1 miliar dari Lexi yang diberikan melalui Dedy.
Brotoseno menyerahkan Rp 100 juta kepada Dedy sebagai komisi. Sementara itu, penerimaan kedua dilakukan pada 3 November 2016 sebesar Rp 900 juta.
Dedy kembali mendapat bagian Rp 50 juta dari Brotoseno.
Kemudian, pada pertengahan November 2016, Brotoseno ditangkap dalam operasi tangkap tangan oleh Divisi Profesi dan Pengamanan Polri.
Dedy, Harris, dan Lexi juga ikut dibawa tim saber pungli di tempat terpisah.
Sebelum akhirnya dilimpahkan ke Bareskrim Polri, mereka berempat diperiksa oleh tim pengamanan internal Divisi Profesi dan Pengamanan Polri.
Dari tangan Brotoseno, polisi menyita Rp1.748.800.000 yang merupakan sisa dari total uang yang diberikan.
Sementara itu, dari Dedy, polisi menyita Rp 150 juta. Sedangkan dari tangan Lexi, disita uang sebesar Rp 1,1 miliar yang merupakan sisa uang yang ditransfer Harris.
Atas perbuatannya, Brotoseno dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 5 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.